Jumat, 06 Agustus 2010

Ronde 2: Yunani...

Latar Belakang


Pada periode 2000 hingga 2007, Yunani yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa merupakan salah satu negara di zona euro dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi, di atas 4% per tahun. Guna meraup devisanya, negeri ini mengandalkan pada industri pariwisata dan perkapalan. Sementara itu selama bertahun-tahun pemerintah Yunani cenderung menerapkan model ekonomi dengan defisit anggaran yang besar, guna menyokong sektor publiknya, seperti menciptakan lapangan kerja serta menyediakan berbagai jenis tunjangan sosial.


Ketika terjadi krisis keuangan global pada kuartal terakhir 2008, sebagaimana terjadi pada banyak negara di dunia, perekonomian Yunani juga terkena dampaknya. Sebagaimana terjadi pada negara-negara kapitalis lainnya, agar sistem kapitalis tetap tegak, pemerintah menarik tambahan utang baru yang besar. Di sisi lain, dua sektor yang paling diandalkan untuk meraup devisa itu justru terkena pukulan hebat, mengalami penurunan pendapatan yang tajam. Secara serta merta pemerintah Yunani terjerumus ke dalam situasi keuangan yang akut; utang yang menggunung dibarengi dengan pendapatan yanag menurun drastis . Maka sejak 2009 bertiup kencang isu, bahwa Yunani terancam mengalami default (gagal memenuhi komitmennya kepada para kreditur).


Potensi Penyebaran Krisis di Eropa


Yunani adalah satu dari 16 negara yang tergabung di dalam Masyarakat Ekonomi Eropa dengan satu mata uang tunggal, yaitu euro (€). Betapa banyak pengamat yang mengkhawatirkan, bahwa jika Yunani mengalami default, dampaknya akan sangat terasa bukan saja di zona euro, melainkan di seluruh dunia. Utang pemerintah Yunani yang perlu diselesaikan (outstanding debt) mendekati €300 milyar. Default-nya Yunani, menurut Oxford Economics, akan merupakan kejadian default suatu pemerintahan yang terbesar sejak 1930; default-nya Yunani akan setara dengan runtuhnya bank investasi Lehman Brorthers pada kuartal terakhir 2008 yang lalu.


Bagaimana penjelasannya? Jika Yunani mengalami default, maka investor asing akan segera keluar dari Yunani dalam waktu sekejap, karena menganggap Yunani tidak lagi mempunyai prospek yang baik bagi investasi. Dalam keadaan tak punya uang, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah Yunani kecuali mengurangi dan memotongi gaji pegawai negeri, menghentikan berbagai tunjangan sosial, serta menghentikan proyek-proyek pemerintah. Kebangkrutan dengan segera menjalar ke sektor swasta. Pengangguran pun dengan cepat merebak. Orang-orang antri di ATM untuk menarik uang, tapi tak ada uang yang tersisa. Mereka akan sangat marah, rasa frustrasi dengan cepat meledak menjadi anarki.


Pengangguran tidak saja akan menimpa warga Yunani, melainkan juga para pekerja tamu dari Bulgaria, Albania, dan Macedonia di Yunani. Ketiga negara itu akan kehilangan devisa dari hasil pengiriman gaji tenaga kerjanya di Yunani sekaligus harus bersiap-siap menerima tambahan jumlah penganggur dari tenaga kerja yang kembali dari Yunani.


Karena perbankan Yunani juga bermain di luar negaranya, kesulitan yang dihadapi perbankan Yunani juga akan ikut menjalar ke wilayah operasi perbankan Yunani tersebut. Sebagai contoh, menurut firma Morgan Stanley, perbankan Yunani banyak memberikan pinjaman berskala besar kepada perusahaan-perusahaan di Bulgaria dan Rumania. Jika perbankan Yunani mengalami kesulitan di tanah airnya, secara otomatis ia akan menarik kembali uangnya yang mengalir ke negara-negara lain. Maka akan banyak perusahaan-perusahaan di Bulgaria dan Rumania mengalami kebangkrutan.


Kemudian, sebagaimana dilansir Citigroup, terdapat perbankan manca negara yang secara langsung terekspos oleh krisis Yunani, karena memegang surat utang pemerintah Yunani, yaitu:

Perbankan Perancis mewakili lebih dari 25% klaim

Perbankan Swiss mewakili lebih dari 20% klaim

Perbankan Jerman mewakili hampir 15% dari klaim

Perbankan Amerika mewakili sedikit di atas 5% dari klaim

Perbankan Inggris mewakili kira-kira 3% dari klaim


Menurut Oxford Economics, perbankan Eropa akan menghadapi kerugian hingga €100 milyar. Padahal bank-bank itu sendiri saat ini masih bergelantungan di pundak pemerintahnya masing-masing akibat dampak krisis global 2008 yang lalu. Default-nya Yunani akan membuat sejumlah bank di Eropa serasa dicincang berkali-kali, yang berdampak pada kelangkaan kredit bagi dunia usaha di negerinya. Kebangkrutan pun menjalar ke negara asal perbankan tersebut. Lalu pemerintahnya yang sudah kepayahan menalangi utang perbankannya, harus sekali lagi terkena getahnya menalangi kerugian bank-bank tersebut.


Selain perbankan, terdapat perusahaan-perusahaan asuransi raksasa yang juga akan terkena dampak langsung jika pemerintah Yunani default. Pada kasus perusahaan asuransi Fortis, misalnya, masih menurut menurut firma Morgan Stanley, diketahui bahwa perusahaan asuransi tersebut juga terekspos di Portugis dan Italia. Maka bangkrutnya Fortis akan menjalar sekurang-kurangnya ke kedua negara tersebut; perusahaan-perusahaan akan mengalami kerugian karena klaim-klaim asuransi tidak dapat dicairkan. Tentu masih ada perusahaan-perusahaan asuransi lainnya dengan resiko yang sama. Selanjutnya kebangkrutan di sektor swasta ini akan semakin meningkatkan potensi default pada pemerintahan di kedua negara itu, akibat basis pengenaan pajak bagi pemerintah semakin menciut sementara tunjangan pengangguran semakin bertambah.


Jika Yunani mengalami default, otomatis bursa sahamnya ambruk karena ditinggal para investor yang bekerja dengan instink “kawanan.” Satu bergerak, yang lain akan mengikuti. Runtuhnya bursa saham Yunani akan diikuti dengan runtuhnya bursa saham di seluruh Eropa dan bahkan dunia, karena para investor segera mencium suramnya prospek perekonomian di daratan Eropa. Tanpa para investor ini perkonomian menjadi stagnan, pengangguran bertambah, dan taruhan terakhirnya adalah terancamnya stabilitas sosial-politik.


Pada level pemerintahan, default-nya Yunani akan memancing sifat paranoid para investor atas surat-surat utang pemerintah di negara-negara Eropa lainnya. Mereka dapat secara serta merta berupaya melepaskan dirinya dari surat-surat utang khususnya dari negara-negara Eropa yang termasuk di dalam kawasan “financial ring of fire,” yaitu negara-negara yang juga berpotensi mengalami default semacam Spanyol, Portugis, Italia, dan Irlandia. Secara serta merta potensi default semakin meningkat di negara-negara tersebut.


Dalam situasi apa pun, negara-negara di Eropa itu tetap membutuhkan dana yang tidak ada jalan lain harus didapatkan dengan menjual surat utang. Maka guna mengompensasikan melemahnya gairah para investor untuk membeli surat-surat utang, pemerintahan di negara-negara Eropa itu terpaksa memancing para investor dengan menawarkan imbalan (baca: bunga) yang tinggi bagi surat utangnya, suatu tambahan atas beban utang pokok yang tidak kecil. Dalam skenario yang paling buruk, default-nya pemerintah Yunani akan mengancam keberlangsungan zona euro itu sendiri.


Kini kita telah melihat resiko bergulirnya kartu-kartu domino kehancuran akibat default-nya pemerintah Yunani ke negara-negara lainnya di Eropa. Jika sudah menyangkut sistem perbankan, pemerintahan di negara-negara Eropa itu akan menghadapi dilema. Jika perbankan mereka tidak diselamatkan, taruhannya adalah tumbangnya sistem ekonomi kapitalis. Sedangkan jika diselamatkan, pada akhirnya negara itu sendiri yang akan menjadi korban, berpotensi bubar karena tak kuasa menanggung tambahan utang ketika beban utang yang mereka pikul saat ini telah sedemikian berat, dan pada saat yang sama mereka pun terancam default.


Potensi Dampak Krisis Yunani di Dunia Selain Eropa


Jika Yunani mengalami default, para investor akan bereaksi secara instinktif, yaitu menyelamatkan diri dengan menyerbu surat utang pemerintah Amerika. Hal ini secara relatif akan melemahkan nilai mata uang euro terhadap dolar Amerika; secara relatif dolar akan menguat terhadap euro. Menguatnya dolar akan melemahkan daya saing produk eskpor Amerika ke Eropa, yang tak lain adalah partner dagangnya yang terpenting. Amerika tidak dapat berharap banyak memperoleh devisa dari ekspor mereka ke Eropa. Selanjutnya hal ini akan memastikan Amerika akan tetap tenggelam dalam kubangan krisis. Jika Amerika tetap dalam krisis, maka dunia juga akan tetap dalam krisis, karena Amerika adalah pelahap produk dunia yang paling rakus. Jika pelahap itu tidur, maka tidur pula seluruh dunia. Hal yang sama juga menimpa negara pengekspor utama seperti Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Mereka akan kesulitan menjual barangnya ketika pasar Eropa sangat melemah.


Bagi Indonesia, jika Yunani mengalami default, dampaknya akan segera terlihat dengan melemahnya permintaan barang ekspor untuk tujuan Eropa dan menurunnya kunjungan wisatawan dari Eropa, serta membanjirnya barang-barang eks Cina. Jika pasar Eropa tidak efektif, maka Cina akan mengalihkan tujuan ekspornya ke negara-negara lunak semacam Indonesia; barang masuk dengan harga dibanting dan tidak ada yang ribut! Juga, sebagaimana bursa saham lainnya di dunia, bursa efek Jakarta akan rontok karena investor asing akan keluar membawa uangnya kembali pulang. Lalu investor lokal pun ikut-ikutan menarik uangnya. Tiba-tiba perusahaan-perusahaan yang mempertaruhkan keberlangsungan hidupnya dari bursa saham akan terlihat berkelojotan, meregang nyawa! Bukankah ini hanya permainan yang bersifat spekulatif?


Melihat hebatnya resiko kehancuran Eropa jika Yunani mengalami default, maka tak heran jika akhirnya pada 2 Mei 2010 negara-negara zona euro dan IMF sepakat memberi pinjaman €110 milyar dengan bunga 5% kepada Yunani dengan persyaratan yang sangat ketat (ingat Indonesia 1998?). Seminggu kemudian, pada 9 Mei 2010, segenap Menteri Keuangan Eropa menyepakati paket penyelamatan komprehensif senilai €1 trilyun yang ditujukan bagi pemantapan stabilitas keuangan di seluruh Eropa.


Sebagai tindak lanjut dari pinjaman itu, pemerintah Yunani berkewajiban melakukan program pengetatan ikat pinggang, termasuk di antaranya:

· Membatasi bonus untuk pegawai di sektor publik hingga €1000 per dua tahun, dan melarang sepenuhnya pemberian bonus bagi pendapatan di atas €3000 per bulan.

· Memotong tunjungan pegawai sektor publik sebesar 8% dan BUMN 3%.

· Membatasi gaji ke 13 dan 14 sebesar €800 per bulan bagi para pensiunan, dan menghapus sama sekali tambahan tersebut untuk pensiunan di atas €2500 per bulan.

· Menerapkan kembali pajak khusus untuk pensiunan yang berpendapatan tinggi.

· Mengubah peraturan untuk PHK dan pembayaran uang lembur.

· Mengenakan pajak tambahan yang dibebankan kepada keuntunan perusahaan.

· Meningkatkan pajak pertambahan nilai hingga 23%, 11% dan 5,5%.

· Meningkatkan pajak sebesar 10% untuk barang-barang seperti alkohol, rokok, dan BBM.

· Menyetarakan batas usia pensiun untuk pria dan wanita.

· Menyusun suatu mekanisme baru penentuan usia pensiun berdasarkan perubahan harapan hidup.

· Membentuk dana stabilitas keuangan.

· Menaikkan usia pensiun rata-rata untuk pekerja sektor publik dari 61 ke 65.

· Mengurangi jumlah BUMN dan jawatan lainnya dari 6000 menjadi 2000.


Menanggapi rencana pemerintah di atas, pada 5 Mei 2010 berlangsung mogok massal berskala nasional. Aksi itu membawa korban tiga orang meninggal dunia, puluhah luka-luka dan lebih dari seratus orang ditangkap. Pada dasarnya demo-demo dan pemogokan telah berlangsung jauh sebelum itu, dan keadaannya semakin menjadi anarkis dari waktu ke waktu.


Pada Juli 2010 Yunani memasuki babak baru dalam pergolakan sosial-politiknya, yaitu dengan bermunculannya kelompok-kelompok anarkis yang lebih berbahaya dan kejam; mereka tidak mempunyai keraguan untuk membunuh! Lalu orang-orang teringat pada situasi di Italia di awal 1970-an ketika aksi-aksi organisasi teroris semacam Brigade Merah menghiasi halaman surat-surat kabar. Tidak diragukan bahwa krisis yang telah melahirkan tingkat pengangguran yang begitu tinggi dan rasa frustrasi yang berkepanjangan, telah memainkan peranan dalam peningkatan tindak kekerasan masyarakat.


Tersisa satu pertanyaan: setelah mendapatkan utang dari IMF senilai €110 milyar, apakah Yunani akan berhasil mengejar target-target kuantitatifnya sembari menerapkan program pengetatan ikat pinggang dan, yang terpenting, terhindar dari default? Bagi negara yang mempunyai basis industri manufakturing, peningkatan produktivitasnya dapat diharapkan akan meningkatkan ekspor dan perolehan devisa. Akan tetapi Yunani adalah negara spesialis pariwisata! Siapa pula yang akan datang ke Yunani untuk berwisata di tengah masyarakatnya yang bergejolak dan semakin beringas? Selain itu, karena Yunani memegang satu mata uang euro, ia tidak bisa mendevaluasi mata uangnya untuk meningkatkan ekspor. Maka tak perlu heran jika kebanyakan pengamat berpendapat bahwa utang baru itu hanya sekedar menunda default, padahal default itu cepat atau lambat akan terjadi juga. Ketika itu terjadi, ia akan menjadi “Ronde 2” dari proses penghancuran Kapitalisme.


Sekarang kita telah mendapatkan gambaran lengkap resiko kehancuran ekonomi dunia oleh default-nya Yunani, negeri dengan penduduk 10 juta jiwa. Jadi, apa yang dapat dikatakan jika default menimpa Amerika? Barangkali itu akan menjadi “Ronde 3,” ronde terakhir, insya Allah.


Kehancuran Kapitalisme, sistem ekonomi berbasis riba dan perjudian, adalah suatu kepastian, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (artinya),


“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)


“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)


dan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun telah bersabda (artinya),


“Riba itu walaupun banyak, maka sesungguhnya akibatnya adalah menjadi sedikit.” (HR. Hakim dan Ibnu Majjah dari Ibnu Mas’ud)


Hal yang perlu direnungkan: dengan utang ribawiyah sebesar Rp. 1600 trilyun, apakah NKRI akan dikecualikan dari kebinasaan?

Wallahua’lam