Jumat, 30 September 2011

Antara Ru’yah dan Hisab



Hari Raya Idul Fitri telah berlalu dengan membawa kesan (baca: kepedihan) yang sangat mendalam, dan ini kerap terjadi. Bagaimana mungkin untuk hari yang demikian mulia ini kaum Muslimin berselisih, bertengkar, bahkan berpecah-belah? Tidakkah para tokoh ormas itu mempunyai sedikit rasa takut kepada Allah dan rasa sayang kepada kaum Muslimin, yang akan membuat mereka membuang fanatisme buta yang merusak itu? Tidakkah mereka sadar, bahwa di hari yang mulia itu mereka hanya memberi kegembiraan kepada orang-orang kafir dan munafik?

Kepedihan dirasakan oleh segenap kaum Muslimin dari semua kalangan; mereka membicarakan masalah ini selama berhari-hari. Tak tahan menyimpan kegundahan hatinya sendirian, sebagiannya melepaskannya ke surat-surat kabar. Berikut di antaranya, dimuat di dalam rubrik Suarapublika Harian Republika 5 September 2011.

“Umat Islam Harus Bersatu; Jangan Tonjolkan Kebodohan
Indonesia memiliki pakar astronomi yang mendunia, yang keilmuannya sudah tak diragukan lagi. Jadi, untuk menentukaan Idul Fitri, sebetulnya tidak sulit. Dan sangat kecil kemungkinan terjadi perbedaan antara astronom satu dengan yang lain.

Yang saya lihat, ormas-ormas Islam ini malah mempertotonkan kebodohan dengan masing-masing pihak merasa paling benar dalam menentukan Idul Fitri. Pendapat ahli malah ditolak mentah-mentah. Pemerintah harus tegas. Penentukan Idul Fitri tidak boleh merujuk pada ormas Islam.”

Maka pada posting kali ini, kami mencoba untuk mendiskusikan sebab-musabab perpecahan itu dan berupaya memberikan usulan pemecahannya, insya Allah.

Larangan berpecah-belah

Pertama-tama kita perlu mengetahui dalil-dalil tentang perselisihan dan perpecahan di dalam urusan agama. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang kaum Muslimin berselisih dan berpecah-belah, dengan ancaman siksa yang berat bagi mereka yang membuat kaum Muslimin terpecah-belah, di dalam firman-Nya (artinya),

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali ‘Imran: 105)

“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan; Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Huud: 118-119)

dan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun telah bersabda (artinya),

“Sesungguhnya ada tiga hal yang Allah senangi dari kalian dan ada tiga hal yang Allah benci dari kalian. Allah Subhanahu wa Ta'ala sangat senang kepada kalian jika kalian beribadah dan menyembah hanya kepada Allah, tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, dan selalu berpegang teguh kepada tali agama Allah serta tidak berpecah-belah. Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat benci kepada kalian jika kalian banyak bicara, banyak bertanya dan meminta, dan menghambur-hamburkan harta.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

“Pada suatu hari saya pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika itu beliau mendengar suara dua orang yang berselisih pendapat mengenai satu ayat Al-Qur’an. Kemudian beliau keluar menemui kami sedangkan di wajah beliau tampak tanda-tanda kemarahan. Setelah itu beliau bersabda, ‘Sungguh telah binasa orang-orang sebelum kalian hanya karena mereka berselisih tentang kitab Allah.’” (HR. Muslim dari Abdullah bin Amr)

Sedangkan konsekuensi dari tindakan yang berakibat pada terpecah-belahnya kaum Muslimin dijelaskan pada dalil-dalil berikut ini.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (artinya),

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum: 1-2)
Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-An’aam: 159)

dan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda (artinya),

“Sesungguhnya akan muncul berbagai fitnah dan hal-hal yang baru. Oleh karena itu, barang siapa memecah-belah persatuan umat Islam, maka tebaslah ia dengan pedang (bunuhlah), siapa pun dia orangnya.’” (HR. Muslim dari ‘Arfajah)

“Apabila dua orang khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri)

Selain menunjukkan larangan berpecah-belah serta konsekuensi bagi pelakunya, dalil-dalil di atas juga memberikan petunjuk penyebab dari perpecahan itu, yaitu karena dilakukannya hal-hal baru di dalam agama. Karena kerasnya ancaman berpecah-belah itu, maka Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang pun memberikan jalan keluar yang sangat gamblang dan mudah.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (artinya),

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa’: 59)

Perlu diketahui bahwa tidaklah dikatakan berselisih dan memecah-belah jika ia menyangkut penafsiran terhadap suatu dalil dalam agama yang memang belum diketahui tafsirnya yang jelas dan tegas, karena tidak mungkin setiap ulama (bukan orang awam) akan mempunyai tafsir yang sama atas suatu dalil yang belum ditafsirkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sendiri. Perbedaan dalam penafsiran pun telah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, di mana sebagian sahabat berbeda pendapat dalam memahami petunjuk beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun ternyata tidak menyalahkan tafsir yang berbeda-beda itu. Demikian pula ijtihad oleh para ulama untuk hal-hal yang belum diperinci di dalam agama, dapat berbeda-beda. Ini diperbolehkan karena Allah telah memberikan keleluasaan kepada para ulama untuk berijtihad.

Persoalan muncul ketika suatu praktek keagamaan yang telah secara mapan dan terang-benderang dilaksanakan pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para Sahabat diselisihi oleh generasi sesudahnya dan nyata-nyata membawa perpecahan. Lebih buruk lagi, argumentasi yang mendasari penyelisihan ini ternyata amatlah lemah. Maka inilah yang dilarang keras di dalam agama. Inilah yang terjadi pada kasus metoda hisab yang diusung kaum rasionalis di dalam menentukan waktu-waktu sholat.

Menentukan Awal Puasa Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri

Praktek melihat hilal (ru’yah hilal) guna menentukan datangnya bulan-bulan, khususnya bulan Ramadhan, telah secara nyata dilaksanakan pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (artinya),

“Barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah berpuasa” (QS. Al-Baqarah: 185)

dan Rasul-Nya
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah menerangkan di dalam sabdanya (artinya),


“Berpuasalah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah dengan melihatnya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Dari abu Umair ibn Anas Radhiallahu ‘anhu, dari paman-pamannya yang dari kaum Anshar, mereka berkata: “Pernah terjadi awal Syawal tertutup mendung, sehingga hilal tidak terlihat, maka kami puasa pada pagi harinya. Di sore hari ada rombongan yang datang dan bersaksi di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa mereka telah melihat hilal kemarin sore, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan orang-orang agar membatalkan puasanya dan pergi ke lapangan sholat ‘Ied pada keesokan harinya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad)
Dari Abu Bakhtari RA, dia berkata, “Kami pernah keluar melaksanakan umrah. Tatkala kami sampai ke Nakhlah, kami melihat hilal (bulan sabit). Sebagian orang mengatakan, ‘Hilal sudah tiga hari terlihat.’ Sebagian lain mengatakan, ‘Hilal sudah (terlihat) dua hari.’ Kemudian kami menemui Ibnu Abbas dan kami mengatakan, ‘Kami telah melihat hilal dan sebagian orang mengatakan bulan sudah nampak tiga hari, sebagian lain mengatakan bulan sudah nampak dua hari.’ Ibnu Abbas bertanya, ‘Hari apa kamu melihatnya?’ Kami menjawab, ‘Malam ini dan malam ini.’ Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ‘Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, ‘Allah membentangkan bulan agar dapat dilihat (menjadi tanda), maka mulailah hitungan pada malam kalian melihatnya.’” (HR. Muslim)
Jelas bagi kita, bahwa hisab adalah metoda yang secara nyata telah menyelisihi metoda yang telah dipraktekkan pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Seandainya pun metoda hisab tersebut bersifat ilmiah, akan tetapi ia telah nyata-nyata membawa perpecahan bagi kaum Muslimin, siapakah yang dengan berbesar hati layak untuk mundur? Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelas sekali, pembawa hal-hal baru, praktisi metode hisab, adalah pihak yang harus mundur! Jika mereka menolak, maka kami khawatir mereka terkena ancaman sesuai dalil-dalil yang telah disampaikan di atas.

Kini argumentasi mereka hanya bertumpu pada kekuatan akalnya. Maka, marilah kita periksa dengan mengajukan pertanyaan: apakah metoda hisab tersebut benar-benar merupakan metoda ilmiah? Sebagaimana diketahui, suatu metoda dianggap absah secara ilmiah jika ia telah diuji di lapangan, dicatat dengan baik, dianalisis, lalu dipaparkan kepada komunitas ilmiah untuk dilakukan pengujian banding oleh sejawat ilmuwan lainnya. Metode ilmiah benar-benar membutuhkan sikap jujur, adil dan rendah hati.

Jadi, akurasi metoda hisab ini akan terlihat dari catatan pengujian: selama puluhan tahun menggunakan metoda ini, para pelakunya tentu mempunyai catatan tentang akurasinya serta riwayat perubahan-perubahan (baca: perbaikan) metoda ini jika ada. Persisnya, mereka wajib memiliki catatan tentang perbandingan antara perhitungan (hisab) yang mereka lakukan dengan pengamatan di lapangan (ru’yah). Mereka tetap wajib melakukan ru’yah karena metoda ru’yah ini merupakan batu uji atas metoda hisab mereka. Bagaimana pun juga, metoda ru’yah tetaplah merupakan metoda yang paling andal, persis sebagaimana pepatah Inggris, “seeing is believing,” dengan melihat maka kita menjadi yakin.

Akan tetapi kita tidak pernah mendengar mereka melakukan hal ini. Jadi, jika mereka mengabaikan sejumlah prosedur baku di dalam aktivitas ilmiah mereka, maka metoda hisab tersebut bukanlah merupakan metode ilmiah; metode hisab tersebut hanya layak dikategorikan sebagai “permainan asah otak.”

Di lain pihak, karena praktisi metode hisab tetap wajib untuk selalu menguji perhitungannya dengan realita di lapangan, maka metode tersebut sebenarnya hanya bermanfaat bagi prediksi kemunculan hilal agar metode penglihatan (ru’yah) menjadi lebih efektif dan efisien, sebagaimana yang dilakukan di Observatorium Bosscha. Dengan kata lain, agar mereka tidak dimasukkan ke dalam kategori “ahli permainan asah otak,” maka mereka wajib bergabung dengan tim yang dibentuk Depag guna memantau munculnya hilal pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan. Jadi, pendekatan yang perlu dilakukan oleh Depag maupun MUI bukannya dengan menyamakan kriteria hilal, melainkan cukup dengan meminta agar setiap ormas Islam bergabung dalam tim pemantau hilal. Bukankah ormas-ormas itu mempunyai jutaan anggota yang tersebar di seluruh propinsi di Indonesia? Tentu bukan hal yang sulit untuk menyumbang satu atau dua orang per ormas untuk setiap lokasi pemantauan.

Kesediaan untuk bergabung ke dalam tim pemantau hilal benar-benar akan menjadi ujian yang berat, kecuali bagi mereka yang memahami tujuan penciptaan mereka di dunia ini. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (artinya),

“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk: 1-2)

Jika mereka bersedia bergabung dan menjadi saksi terbitnya hilal, dan itulah yang sangat diharapkan kaum Muslimin di negeri ini, maka hilanglah perbedaan yang memecah-belah itu. Jika mereka menolak, maka gelar “ahli permainan asah otak” akan menjadi gelar resmi. Dan ini akan sangat mengherankan, seakan-akan mereka tidak khawatir dengan “hisab” yang berat di akhirat kelak. Wallahua’lam.

Selain itu, pemilihan lokasi-lokasi tempat melihat hilal selayaknya juga mencakup lokasi-lokasi di mana kerap terjadi sebagian kaum Muslimin “nyelonong” sendiri dalam mengumumkan hasil pengamatan mereka, yang membuat kaum Muslimin lainnya bertambah bingung. Maka masukkanlah lokasi-lokasi seperti Cakung ke dalam perencanaan, dan masukkan pula orang-orang yang biasa memantau hilal di tempat tersebut ke dalam tim.

Akan tetapi, ternyata sebagian dari praktisi metode hisab itu mempunyai alasan lain yang terkesan lebih keren, yaitu cita-cita untuk membuat kalender Islam yang berlaku untuk seluruh dunia! Sedangkan menurut mereka, metoda ru’yah mempunyai kelemahan, hanya dapat digunakan secara efektif pada geografis tertentu saja.

Terdapat sekurang-kurangnya tujuh alasan utama yang akan menyanggah ide ini. Pertama, secara geografis populasi kaum Muslimin lebih terkonsentrasi pada wilayah barat-timur bumi daripada utara-selatan. Perhatikanlah hadits berikut ini (artinya),

“Sesungguhnya Allah telah menarik ujung bumi untukku, sehingga aku dapat melihat bagian timur dan baratnya. Dan kelak kekuasaan umatku akan mencapai bagian bumi yang telah didekatkan kepadaku itu.” (HR. Muslim dari Tsauban)

Lebih dari empat belas abad yang lalu, Allah Yang Maha Mengetahui telah memberitahu Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bahwa umat beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan terkonsentrasi pada arah barat-timur bumi, bukannya pada arah utara-selatannya. Demikianlah yang terjadi, dan ini akan berlaku hingga Hari Kiamat. Jadi, betapa pun pertumbuhan populasi kaum Muslimin terlihat sangat pesat di negeri-negeri Barat, jumlahnya akan tetap sangat marjinal dibandingkan dengan penduduk non-Muslim di sana hingga Hari Kiamat, lebih-lebih lagi jika dibandingkan dengan populasi Muslim di negeri-negeri leluhurnya. Maka, akal yang sehat tentu akan mengatakan, bahwa metode-metode yang dibawakan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, di antaranya metode ru’yah, adalah metode yang paling efektif dan efisien bagi umat beliau yang telah beliau ketahui akan terkonsentrasi pada arah barat-timur bumi hingga Hari Kiamat.

Sedangkan bagi umat Islam yang berdiam di negeri-negeri yang diklaim tidak dapat melakukan metoda ru’yah, maka para ulama mereka mendapat keleluasan untuk melakukan ijtihad, termasuk kemungkinan menggunakan metode hisab. Tentu tidak adil, dan dengan demikian tidak benar, bahwa populasi Muslim yang mayoritas, berada pada geografis dengan populasi yang terkonsentrasi, dan telah mapan mengikuti metode ru’yah, harus mengikuti suatu metode yang muncul lebih belakangan, oleh populasi minoritas, dan berada jauh dari pusat Islam, dan berpotensi memecah-belah. Sebagai contoh, Islam tidak mengatur waktu-waktu sholat di ruang angkasa. Maka ketika Pangeran Sultan bin Salman dari Arab Saudi berangkat ke luar angkasa selama berhari-hari sebagai astronot pesawat ulang alik, ulama Saudi membekalinya dengan tuntunan waktu-waktu sholat yang merupakan hasil ijtihad, yang tidak harus sama dengan waktu-waktu sholat yang berlaku di bumi. Ijtihad ulama Saudi ini tentu saja hanya berlaku di ruang angkasa, bukan untuk kaum Muslimin yang bergerak di atas muka bumi, dan Allah tidak membebani manusia melebihi kemampuannya.

Kedua menyangkut prioritas. Kalender adalah perkakas keduniawian. Sebagian dari mereka mengatakan, bahwa dengan metode ru’yah seseorang tidak dapat mengatakan dengan tepat kepada rekan bisnisnya, misalnya, tanggal 1 Dzulhijjah pada tahun sekian itu akan jatuh pada hari apa? Harapan kami: Sebelum mereka mengganti kelender Masehi dengan kalender Islam universal, mereka mesti membuktikan bahwa mereka mampu melepaskan dasi-dasi khas pakaian orang-orang kafir yang telah menjerat leher-leher mereka sekian lama, yang mereka merasa bangga memakainya, dan menggantinya dengan baju khas kaum Muslimin!

Lebih dari itu, cara-cara penentuan waktu di dalam Islam selalu terkait dengan masalah agama, di mana metoda penentuan waktu-waktunya telah di atur dari atas langit, dan segalanya telah amat jelas dan mapan bagi kaum Muslimin. Maka mengunggulkan kepentingan duniawi sebagai tujuan di atas kepentingan agama merupakan indikasi dari kesesatan.

Ketiga, bersifat paradoks. Alangkah mulianya niat hendak mempersatukan kaum Muslimin sedunia dengan kalender Islam universal itu. Akan tetapi, sayangnya, ketika persatuan internasional itu belum dapat diraih, persatuan pada tingkat negeri Muslim justru terkoyak-koyak. Ibarat kata pepatah, mengharapkan balam yang terbang di udara, punai di tangan terlepaskan. Betapa sia-sianya perbuatan itu.

Jadi, kaum Muslimin mesti memprioritaskan persatuan pada level yang lebih rendah sebelum berbicara pada level yang lebih tinggi! Dan persatuan pada level yang lebih tinggi tidak boleh dengan mengorbankan persatuan pada level yang lebih rendah. Sedangkan faktor, satu-satunya faktor, yang dapat mempersatukan mereka pun sudah jelas: Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Maka perjuangkanlah Sunnah ini pada setiap level.

Keempat, menyangkut waktu. Karena sebagian kaum Muslimin mengira usia dunia ini masih panjang, bahkan ada yang mengira milyaran tahun, maka mereka berangan-angan hendak membangun “Peradaban Islam.” Kalender Islam Universal adalah di antara buah yang diharapkan dari peradaban itu. Kami membantah angan-angan seperti ini melalui tulisan yang kami hibahkan “Hari Kiamat Masih Milyaran Tahun?” Jika seseorang menyadari di zaman apa ia hidup kini, tentu ia tidak akan panjang angan-angan, dan akan lebih memusatkan perhatiannya pada persiapan menghadapi hari-hari berat di depan yang diperkirakan telah sangat dekat. Maka sikap yang bijak adalah segera melupakan soal kalender itu!

Kelima, keliru dalam membuat asumsi. Kaum rasionalis itu mengira bahwa benda-benda langit akan selalu bergerak mengikuti garis edarnya secara teratur. Dengan demikian cukup valid jika ia dijadikan dasar bagi penyusunan kalender universal ini.

Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membantah pendapat yang demikian dengan sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam (artinya),

“Kami (para Sahabat Nabi) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, berapa lamakah Dajjal tinggal di bumi?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Salama empat puluh hari. Hari pertama sama dengan satu tahun. Hari kedua sama dengan satu bulan. Hari ketiga sama dengan satu pecan. Sedangkan sisa harinya semisal hari pada umumnya.’ Kami (para Sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, satu hari yang seperti satu tahun, apakah cukup shalat lima kali dalam sehari, sebagaimana pada umumnya?’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak, namun kira-kiralah secukupnya.’” (HR. Muslim dari an-Nawwas bin Sam’an)

Bagi yang menganggap hadits di atas absurd, maka kami persilahkan mereka untuk berwisata ke Kutub Utara. Di sana mereka akan menikmati situasi di mana matahari berada di atas horizon selama enam bulan, dan berada di bawah horizon selama enam bulan. Bagaimana persisnya situasi benda-benda langit saat menjelang kemunculan Dajjal itu, maka kembali berlaku pepatah Inggris, “seeing is believing.” Setelah menyaksikannya, baru para ulama dapat memperkirakan waktu-waktu sholat yang pantas. Dan barangkali waktunya sudah sangat dekat. Wallahua’lam.

Keenam, tidak dipahaminya siklus kehidupan kaum Muslimin. Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda (artinya),

“Masa kenabian telah terwujud di antara kalian sesuai dengen kehendak Allah. Kemudian Dia akan menghilangkannya sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu ada khilafah yang berdiri di atas manhaj kenabian tersebut sesuai kehendak-Nya pula. Kemudian Dia akan menghapusnya juga sesuai dengan kehendak-Nya. Lalu ada kerajaan sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu ada kerajaan/pemerintahan diktator yang berjalan sesuai dengan kehendak-Nya pula. Lalu Dia akan menghapusnya jika menghendaki untuk menghapusnya. Kemudian ada khilafah yang berdiri di atas manhaj kenabian. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam diam.” (HR. Ahmad dari Hudzaifah)

Pertanyaan: pada masa khilafah Islam yang berbasis manhaj kenabian kelak, yang insya Allah tak akan lama lagi kembalinya, apakah Khalifah akan memerintahkan kaum Muslimin untuk menggunakan metoda ru’yah atau hisab? Namanya juga berbasis manhaj kenabian, tentu saja mereka akan menggunakan metoda yang sama persis dengan metode yang dipraktekkan pada masa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para Sahabat beliau, yaitu metode ru’yah!

Ketujuh, para penggagas metode hisab ini mengakui bahwa metode ini masih perlu terus disempurnakan, dengan demikian ia dapat disebut sebagai sebuah "eksperimen." Maka adakah orang-orang yang lebih tidak bertanggung jawab, dengan demikian ia wajib ditolak, daripada orang-orang yang telah melibatkan berjuta-juta, puluhan juta, bahkan mungkin ratusan juta, kaum Muslimin di seluruh dunia sebagai "kelinci percobaan" dalam eksperimen mereka bahkan ketika mereka sendiri mengakui bahwa eksperimen tersebut belum tuntas dan belum teruji dengan benar?


Menentukan waktu Hari Raya Idul Adha

Perbedaan pendapat juga terjadi pada apakah ru’yah hilal di suatu tempat, katakanlah di Mekkah, akan berlaku bagi negeri-negeri Muslim lainnya yang mengetahuinya? Hal yang sama juga terjadi dalam penentuan Hari Raya Idul Adha. Terdapat sejumlah dalil yang relevan, di antaranya (artinya),

“Bahwa hari Arafah (yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) itu adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah), dan hari berkorban itu adalah masa Imam (Khalifah) menyembelih kurban.” (HR. Thabrani).

“Bahwasanya Amir Mekkah (Wali Mekkah) berkhutbah dan menyatakan: ‘Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan ru`yah. Apabila kita tidak melihatnya, sementara dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.’” (HR. Abu Dawud dari Husain bin Harits Al Jadali)

Ringkasnya, timbul pertanyaan: apakah prosesi haji yang berlangsung di Arab Saudi mengikat waktu-waktu ibadah (puasa dan qurban) di tempat-tempat lain di negeri-negeri Muslim? Hal ini semakin menjadi perhatian segenap kaum Muslimin berkat kemajuan teknologi yang membuat setiap orang mampu memantau tahapan-tahapan prosesi haji di Arab Saudi, lalu tiba-tiba bertanya-tanya: mengapa tidak sinkron antara apa yang terjadi di Arab Saudi dengan di negeri kita?


Agaknya, persoalan ini lebih karena telah diraihnya kemampuan untuk memantau setiap perkembangan dunia secara sesaat (real time), yang akhirnya membuat para pelakunya menjadi kebingungan sendiri. Jika kita telah mengetahui penyebab utama dari fenomena ini, maka jawabannya pun insya Allah akan sangat sederhana.

Pertama-tama kita perlu menyadari, bahwa dalam sejarah Islam, Khalifah tidak berkedudukan di Mekkah. Khalifah pernah berkedudukan di Madinah, Damaskus, Kufah, Bagdad, dan Istambul, tetapi tidak di Mekkah. Maka ketika Gubernur Mekkah mengumumkan rincian waktu pelaksanaan ibadah haji, berita ini harus segera disampaikan kepada Khalifah yang berkedudukan jauh dari Mekkah, agar Khalifah dapat segera mengumumkan kepada segenap kaum Muslimin untuk menyelaraskan kegiatan keagamaan mereka di negeri-negeri mereka. Sementara itu, pada periode hingga beberapa abad yang lalu, teknologi transportasi/komunikasi yang tercanggih adalah kuda. Pertanyaannya: apakah mungkin pengumuman Khalifah ini akan menjangkau segenap negeri-negeri Muslim dari Maroko hingga Azerbaijan, bahkan Kerajaan Samudra Pasai, dalam waktu yang tersisa sebelum pelaksanaan Idul Adha? Menurut hemat kami, praktek ini tidak pernah terjadi, karena secara teknis tidak mungkin terjadi. Dengan kata lain, setiap wilayah pemerintahan/gubernur mempunyai pengaturannya sendiri, tidak terikat dengan prosesi haji di Mekkah. Inilah pemahaman yang paling logis dari segenap dalil yang berkaitan dengan pelaksaan ibadah di bulan Ramadhan dan Haji, yang tercermin pada hadits berikut ini (artinya),

Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Harits mengutusnya kepada Mu’awiyah RA ke negeri Syam. Kuraib berkata, “Maka aku berangkat menuju Syam, aku pun telah memenuhi permintaannya. Lalu tibalah bulan Ramadhan sementara aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat, kemudian aku tiba di Madinah pada penghujung bulan (Ramadhan). Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku sambil menyebut hilal dan berkata, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jumat.’ Ia bertanya, ‘Apakah kamu melihatnya?’ Aku menjawab, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka (penduduk Syam) berpuasa dan Mu’awiyah juga berpuasa bersama mereka.’ Lalu Ibnu Abbas berkata, ‘Akan tetapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu, dan kami masih berpuasa hingga melengkapi 30 hari atau sampai melihatnya lagi.’ Lalu aku bertanya, ‘Apakah tidak cukup bagimu dengan ru’yah Mu’awiyah beserta puasanya?’ Ia menjawab, ‘Tidak, demikianlah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR. Muslim)

Mu’awiyah adalah Khalifah kaum Muslimin yang berkedudukan di Syam. Ternyata ru’yah Syam tidak berlaku bagi Mekkah, demikian pula sebaliknya!

Maka jika hal ini adalah sah pada masa lalu, tentu ia pun sah untuk masa kini dan masa mendatang! Wallahua’lam.

Sebagian orang akan berpendapat, bahwa kemajuan tekologi (baca: kekuatan akal) telah mengubah paradigma dalam beribadah secara mendasar! Hal ini jelas tidak benar, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa di masa yang akan datang, barangkali sudah sangat dekat, situasinya akan kembali seperti masa lalu. Perhatikan hadits berikut ini (artinya),

“Dari Yusair bin Jabir, dia berkata, “Angin merah bertiup (telah terjadi kekacauan) di kota Kufah. Setelah itu, seorang laki-laki datang sambil berseru, ‘Hai Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya kiamat telah datang!’
Yusair berkata, “Kemudian laki-laki itu duduk, sedangkan Abdullah bin Mas’ud duduk sambil bersandar. Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya kiamat tidak akan terjadi kecuali setelah harta warisan tidak dibagikan dan harta rampasan perang tidak membuat gembira.’
Setelah itu Abdullah bin Mas’ud berkata seraya menunjukkan tangannya ke arah Syam, ‘Di sana ada musuh yang akan menyerang orang-orang Islam dan orang-orang Islam pun akan menyerang dan menghadapi mereka.
Saya bertanya, ‘Apakah yang kamu maksudkan itu adalah orang-orang Romawi?’
           Abdullah bin Mas’ud menjawab, ‘Ya.’
Dalam peperangan tersebut telah terjadi perlawanan yang sangat sengit. Orang-orang Islam mempersiapkan pasukan berani mati yang tidak akan kembali ke garis pertahanan kecuali dengan membawa kemenangan.
Mereka bertempur sampai datang waktu malam. Setelah itu, kedua belah pihak bubar dan kembali ke garis pertahanan semula tanpa ada yang membawa kemenangan. Gugurlah kesepakatan itu.
Kemudian orang-orang Islam mulai mempersiapkan lagi pasukan berani mati yang biasanya tidak akan kembali ke garis pertahanan kecuali dengan membawa kemenangan.
Mereka bertempur sampai datang waktu malam. Setelah itu, kedua belah pihak bubar dan kembali ke garis pertahanan semula tanpa ada yang membawa kemenangan. Gugurlah kesepakatan itu.
Lalu orang-orang Muslim mulai mempersiapkan lagi pasukan berani mati yang biasanya tidak akan kembali ke garis pertahanan kecuali dengan membawa kemenangan.
Mereka bertempur sampai datang waktu malam. Setelah itu, kedua belah pihak bubar dan kembali ke garis pertahana semula tanpa ada yang membawa kemenangan, dan kesepakatan kembali gugur.
Pada hari keempat, pasukan kaum Muslimin yang tersisa mulai menyerang musuh. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menimpakan kekalahan kepada orang-orang Islam meskipun mereka bertempur dalam pertempura yang tak pernah terlihat pertempuran seperti itu, hingga burung-burung pun turut bertempur mengiringi mereka sampai jatuh dan binasa.
Setelah itu ada seratus orang yang bersaudara yang ikut pertempuran, mereka semuanya binasa kecuali hanya seorang. Maka harta rampasan perang apa yang dapat membuatnya bergembira? Atau harta warisan mana yang akan dibagi-bagikan?
Ketika mereka berada dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba mereka mendapat cobaan yang lebih besar lagi. Seorang laki-laki mendatangi mereka seraya berkata, ‘Sesungguhnya Dajjal telah mendatangi anak cucu kalian.’
Akhirnya mereka membuang apa yang ada di tangan mereka. Lalu mereka bersiap-siap dengan menugaskan sepuluh orang pasukan berkuda sebagai pengintai.
Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh aku mengetahui nama-nama mereka, nama-nama ayah mereka, dan warna kuda-kuda mereka. Mereka semua adalah pasukan berkuda yang terbaik pada saat itu.” (HR. Muslim)

Di masa depan yang dekat, kuda kembali akan menjadi sarana transportasi yang paling diandalkan. Kami telah mendiskusikan kemungkinan skenario yang dapat membawa ke situasi tersebut di dalam buku kami “Peringatan Terakhir…”

Bagaimana dengan sarana komunikasi? Hmm… para pembaca perlu mengikuti pengumuman yang terus diperbarui dari situs “NASA Science,” situs resmi Badan Aeronautika dan Ruang Angkasa Amerika mengenai perkembangan ilmu pengetahuan, berkenaan dengan perkembangan Badai Matahari (Solar Storm) serta dampaknya pada sistem komunikasi canggih umat manusia. Di masa depan yang dekat, dengan hancur-leburnya sistem ekonomi-keuangan negara-negara Kapitalis, insya Allah, maka segenap persiapan guna menyongsong kehadiran badai tersebut menjadi ikut hancur-lebur pula. Lalu… back to square one…

Penentuan Waktu-waktu Sholat Wajib

Sangat boleh jadi kaum Muslimin mengalami kesulitan dalam upaya membandingkan metoda ru’yah dan hisab pada penentuan dimulainya bulan-bulan baru. Situasi yang jauh berbeda, jauh lebih mudah, akan dijumpai pada upaya membandingkan antara metode ru’yah (bayangan) matahari dan metode hisab dalam menentukan waktu-waktu sholat wajib. Bahkan setiap Muslim dapat melakukannya. Pelajarilah hadits-hadits berkenaan dengan penentuan waktu-waktu sholat, lalu praktekkan guna mengamati waktu-waktu tersebut, lalu bandingkan dengan jadwal sholat abadi hasil metode hisab yang terpampang pada papan pengumuman di masjid-masjid, niscaya kaum Muslimin akan mendapati betapa “belepotannya” jadwal-jadwal tersebut. Perhatian yang lebih khusus perlu diarahkan pada penentuan dimulainya waktu sholat shubuh. Di sini mata kaum Muslimin akan semakin terbelalak dengan perbedaan yang begitu besar. Kami menyisakan masalah ini sebagai PR bagi para pembaca untuk mempelajarinya.

Sesungguhnya Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah di antara mukjizat yang Allah turunkan kepada beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Maka Allah tak akan memberi jalan kepada akal-akal mungil manusia untuk merendahkannya, dengan berupaya menggantinya dengan cara-cara / metode yang tidak diridhai-Nya. Mempelajari dan melaksanakan Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam segenap rinciannya dengan penuh kecintaan akan merupakan suatu kehormatan bagi setiap Muslim.



Wallahua’lam