Jumat, 27 Agustus 2010

Memasang "Firewall"

Depresi Besar yang dimulai pada 1929 dan baru berakhir setelah dimulainya Perang Dunia II pada 1939, benar-benar merupakan periode yang sangat traumatis bagi bangsa Amerika. Itulah sebabnya mereka berusaha agar peristiwa tesebut tidak terulang lagi.


Ketika Depresi Besar tengah berlangsung, anggota legislatif Amerika membentuk sebuah komisi guna menyelidiki sebab-sebab timbulnya musibah tersebut. Salah satu di antara penyebabnya adalah karena perilaku spekulatif yang justru dimotori oleh bank-bank raksasa, yang tidak dapat memisahkan dirinya antara sebagai bank dan sebagai broker. Mereka menggunakan dana-dana milik nasabahnya untuk berspekulasi pada bisnis-bisnis yang ketika itu tengah booming, yang tercermin dari indeks bursa saham Wall Street yang terus melonjak. Maka ketika terjadi crash di bursa saham, para broker saham itu mengalami kerugian besar, lalu bangkrut, dan sekaligus melenyapkan uang milik para deposannya.


Menilik peran bank dalam investasi spekulatif ini, maka pada 1933 Senator Carter Glass dan anggota Kongres Henry B. Steagall menyeponsori dibuatnya suatu peraturan yang dikenal sebagai Glass-Steagall Act. Pada intinya peraturan tersebut hendak memisahkan secara tegas antara bank komersial yang berfungsi sebagai penyedia kredit pada perorangan atau perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pendanaan, dan bank investasi yang biasa bermain dalam investasi spekulatif. Bank komersial tidak diperbolehkan melakukan investasi spekulatif. Selain itu juga dibentuk Federal Deposit Insurance Corporation, lembaga penjamin simpanan, guna menjamin simpanan para deposan di bank-bank. Sejak saat itu bank-bank di Amerika beroperasi dalam koridor peraturan yang ketat.


Akan tetapi, perbuatan batil semacam riba dan perjudian itu selalu mencari jalannya sendiri untuk menuju kehancuran. Bank-bank raksasa di Amerika merasa gerak-gerik mereka dikendalikan terlalu ketat. Mereka secara terus-menerus menyuarakan perlunya meninjau kembali Glass-Steagall Act, karena menganggapnya sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Pada dasarnya, inti dari tuntutan mereka adalah ketamakan! Mereka terhalang dari upaya untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Akhirnya kepentingan para bank raksasa itu mulai mendapatkan jalannya sejak masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan; proses deregulasi pada sektor keuangan Amerika dimulai pada 1980. Dengan kekuatan lobby, menurut sejumlah pengamat senilai $300 juta, mereka berhasil mempengaruhi badan legislatif Amerika untuk mengakhiri Glass-Steagall Act. pada November 1999 dan menggantinya dengan Gramm-Leach-Bliley Act.


Melalui peraturan baru ini tidak lagi dipisahkan antara bank komersial dan bank investasi, melainkan dibuat suatu klasifikasi baru “financial holding company” dengan keleluasaan untuk melakukan penjaminan dan menjual asuransi serta surat-surat berharga (sekuritas), beroperasi sebagai bank komersial dan bank investasi, berinvestasi di dalam industri real estate, dan lain sebagainya.


Mudah diduga, penyakit yang pernah menjangkiti Amerika pada 1929 kambuh lagi, tetapi dengan daya rusak yang jauh lebih mengerikan. Financial holding companies itu segera memanfaatkan dana milik deposannya pada sisi bank komersialnya untuk mendanai bisnis spekulatifnya pada sisi bank investasinya. Lalu mereka mendapat peluang untuk berspekulasi tak lama setelah itu; tidak terlalu lama bagi holding companies itu telah menunjukkan sosok aslinya, sebagai mesin casino raksasa.


Mesin-mesin casino raksasa itu mendapatkan “peluangnya” untuk mengeruk keuntungan pada suatu periode di mana bertemu sejumlah kepentingan. Pada 2000, Amerika mengalami resesi yang disebabkan oleh rontoknya perusahaan-perusahaan teknologi berbasis dot.com, lalu berlanjut dengan peristiwa WTC 11 September 2001. Guna menggairahkan kembali perekonomiannya yang melesu, bank sentral Amerika menurunkan suku bunganya dari 6,5% hingga ke tingkat 1% dalam periode 2000 hingga 2003. Dalam situasi ini, di satu sisi terdapat kepentingan pemerintah Amerika agar rakyatnya yang berpenghasilan rendah juga dapat memiliki rumah. Di sisi lain terdapat dana-dana milik para investor yang selalu berkeliling dunia mencari tempat singgah yang menguntungkan, yang lebih menarik dari sekedar imbalan yang ditawarkan surat-surat utang pemerintah. Lalu ada bank investasi semacam Lehman Brothers yang berusaha menghubungkan sejumlah kepentingan ini dalam suatu lapangan permainan yang sama.


Dengan bunga yang sedemikian rendah, bermunculanlah proyek-proyek perumahan (real-estate) di seluruh Amerika. Rupanya KPR yang murah karena berbunga rendah telah menyebabkan meningkatnya jumlah permintaan akan rumah sekaligus meningkatkan nilai rumah-rumah tersebut. Sementara itu, bank-bank juga telah membuat persyaratan untuk mendapatkan KPR menjadi sangat mudah. Di antaranya adalah adjustable-rate mortgage (ARM), yaitu pemilik rumah membayar bunga KPR yang bervariasi, sesuai tingkat bunga yang berlaku. Di antara variasi dari ARM adalah cukup membayar bunga pinjaman saja para periode awal. Pada sejumlah kasus, calon penerima KPR bahkan tidak perlu menunjukkan bukti kemampuan pendanaan, melainkan cukup dengan membuat “pernyataan” saja. Maka kegilaan untuk mendapatkan rumah pun semakin menjadi-jadi. Orang-orang membeli rumah tidak hanya untuk dihuni tetapi juga sebagai suatu spekulasi; mereka mengira nilai asset mereka akan terus bertambah, tak pernah terpikirkan bahwa harga rumah juga dapat meluncur turun. Pada akhir 2006, jumlah pemilik KPR versi ARM ini telah melewati 60% dari total pemilik KPR.


Akan tetapi, tentu saja bukan tanpa alasan bank-bank itu menawarkan KPR dengan sedemikian mudah. Pada kenyataanya, bank-bank tersebut telah menciptakan model-model KPR baru, di mana, berdasarkan asumsi model statistik yang mereka susun, resiko memberikan KPR dengan persyaratan minimal itu tidak akan membahayakan jika transaksi-transaksi itu dipaket antara yang berkualitas baik dan kurang baik, lalu disebar ke seluruh dunia! Jadi, transaksi-transaksi KPR itu mereka paket, lalu mereka jual kepada perusahaan-perusahaan asuransi, lembaga-lembaga keuangan, dan para investor di seluruh dunia! Produk ini disebut mortgage-backed securities (MBS). Bagaimana para investor di seluruh dunia akan menolak penawaran ini, ketika keuntungan yang ditawarkan lebih tinggi daripada imbalan dari surat-surat utang pemerintah, sementara rating agencies juga telah menyatakan penawaran tersebut aman? Untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan default-nya MBS, maka para investor itu membeli suatu instrumen keuangan yang disebut credit default swap (CDS) dari perusahaan asuransi. Jika terjadi default pada MBS, maka perusahaan asuransi yang akan memberikan kompensasi. Celakanya, instrumen ini juga sekaligus menjadi alat untuk berspekulasi.


Lalu pada 2005 sejumlah pengamat sudah memperingatkan bahwa jumlah rumah yang telah selesai dan sedang dibangun sudah jauh melampaui kebutuhan. Di sisi lain, guna memerangi ancaman inflasi, bank sentral Amerika mulai menaikkan suku bunga secara signifikan antara Juli 2004 hingga Juli 2006, yang membuat KPR menjadi semakin mahal. Kedua fenomena ini semakin meyakinkan sejumlah pengamat, bahwa gelembung industri perumahan akan segera meletus. Benar saja! Permintaan mulai KPR melemah, mendatar, akhirnya menurun tajam pada pertengahan 2006. Gelembung pecah, harga rumah anjlok tajam!


Seperti sudah diduga, pemilik KPR versi ARM ini kesulitan untuk melanjutkan cicilannya karena tingkat bunga telah naik. Kegagalan dalam mencicil KPR berbuntut pada merosotnya pemasukan pada bank-bank, berlanjut hingga mengalami kerugian dan bahkan kebangkrutan, seperti yang dialami bank investasi Lehman Brothers. Kerugian tentu juga dialami oleh para investor di seluruh dunia yang membeli “paket-paket” MBS karena penurunan nilai KPR itu sendiri; kerugian juga dialami perusahaan-perusahaan asuransi yang menjamin CDS, tercermin dari runtuhnya nilai saham mereka dan nilai saham dari perusahaan-perusahaan lainnya yang berhubungan dengan aktivitas mereka di bursa-bursa saham di seluruh dunia.


Karena bank-bank mengalami kerugian, maka ia tidak dapat melakukan pinjaman sehingga dunia usaha menjadi macet, dan perekonomian menjadi mengerut, pengangguran secara perlahan-lahan merambat naik. Bank sentral Amerika berupaya membantu dengan menurunkan suku bunga hingga 0,25% dan pemerintah Amerika juga turun tangan dengan menalangi utang-utang bank-bank serta sejumlah perusahaan yang dianggap “too big to fail,” yaitu perusahaan-perusahaan yang kalau dibiarkan ambruk akan berdampak sangat negatif pada perekonomian Amerika. Semua itu dilakukan dengan utang, yang akan dibayar melalui tambahan pajak dari rakyat Amerika. Selain itu juga disusun sejumlah program stimulus ekonomi untuk membangkitkan kembali perekonomian negara itu serta aksi-aksi yang terkoordinir dari sejumlah negara besar di seluruh dunia.


Tokh semua itu tidak menolong! Bahkan calon korban selanjutnya adalah pemerintah Amerika itu sendiri yang telah membahayakan dirinya sendiri demi menyelamatkan sistem ekonomi kapitalis. Pada akhir 2010 diperkirakan utang “resmi” pemerintah Amerika, seperti yang terpampang pada sudut kanan atas blog ini, akan sebesar $13,6 trilyun. Akan tetapi, dalam suatu wawancara dengan Yahoo Finance pada 25 Agustus 2010, Laurence Kotlikoff, seorang profesor ekonomi dari Universitas Boston, telah menyatakan bahwa jika segenap kewajiban pemerintah Amerika dihitung berdasarkan nilai saat ini (present value), maka utang pemerintah Amerika yang sebenarnya adalah $202 trilyun. Hopeless!!!


Persoalannya adalah, saat ini dunia dilingkupi oleh transaksi-transaksi spekulatif yang nilainya menurut sebagian pengamat telah mencapai $600 trilyun. Jika sampai terjadi default pada pemerintah Amerika, dan insya Allah itu akan terjadi, maka dana-dana itu akan lenyap dari muka bumi dalam suatu reaksi berantai yang mengitari seluruh dunia. Kisah selanjutnya adalah tragedi kemanusiaan dalam dimensi yang belum pernah ditemukan padanannya di zaman modern ini.


Lenyapnya dana spekulatif senilai $600 trilyun adalah suatu kepastian, sepasti berlakunya firman Allah berikut ini (artinya),


“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)


“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)


“Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al Isra’: 81)


dan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda (artinya),



“Riba itu walaupun banyak, maka sesungguhnya akibatnya adalah menjadi sedikit.” (HR. Hakim dan Ibnu Majjah dari Ibnu Mas’ud)


Kini, di negeri Muslim ini, di Indonesia, terdapat begitu banyak orang yang tidak memahami apa yang tengah terjadi, bahkan para pemimpin mereka sekali pun. Nasihat kami, sebagaimana komputer-komputer yang terhubung ke jaringan internet dipasangi piranti lunak “firewall” guna mencegah masuknya virus-virus jahat yang akan merusak program-program komputer kita, maka kaum Muslimin juga harus memasang “firewall” guna mengamankan dana-dana yang mereka miliki. Apakah “firewall” itu? Kasur! Kasur? Ya, simpan uang di bawah kasur!


Maksud kami, selagi sempat tariklah semua uang dari bank-bank dan simpanlah di rumah, di tempat yang aman. Hal ini selaras dengan fatwa para ulama yang mengharamkan menyimpan uang di bank. Bahkan keleluasaan yang diberikan dalam fatwa para ulama bagi penyimpanan uang di bank karena mengkhawatirkan keamanan uang tersebut jika disimpan di rumah, telah menjadi tidak relevan, karena saat ini menyimpan uang di bank itu justru lebih berbahaya daripada menyiman uang di rumah, di bawah kasur!


Sebagian orang akan mengatakan, bukankah sekarang sudah ada Lembaga Penjamin Simpanan? Kami katakan, apakah mereka berani menjamin atas ancaman Allah seperti pada firman-Nya yang kami kutip di atas? Maka biarkanlah orang-orang yang ingkar itu merasakan kepahitan atas keyakinan mereka terhadap agama kapitalisme yang batil itu.


Akan tetapi, bagaimana jika uang itu terlalu banyak untuk disimpan di rumah? Perlu diketahui, pada akhirnya uang kertas yang tidak didukung oleh cadangan emas di Bank Indonesia itu akan berharga senilai kertas toilet (aneh sekali, ketika bank sentral Cina dan India membeli berton-ton emas milik IMF, pemerintah Indonesia justru meningkatkan iurannya, meningkatkan sahamnya di Bank Dunia, suatu institusi yang susah pasti akan lenyap!). Oleh karena itu, selagi sempat, seseorang dapat memanfaatkan uangnya yang banyak itu untuk beramal, yang akan menjadi alasan bagi Allah untuk menyelamatkan nya pada hari-hari ketika fitnah merajalela kelak.


Wallahua’lam