Kamis, 21 Oktober 2010

Bencana-bencana di Republik Madyan



Seakan-akan republik tempat kita bernaung ini bagaikan Republik Madyan. Tentu sebagian orang akan memprotes keras istilah ini dengan argumentasi bahwa bangsa Madyan adalah bangsa yang telah punah karena azab Allah disebabkan penolakan mereka terhadap dakwah tauhid yang dibawakan oleh Nabi Syu’aib alaihissalam, sedangkan bangsa ini masih memiliki harapan untuk selamat jika dakwah kepada tauhid berhasil dilaksanakan. Lagi pula, mungkinkah suatu kaum yang telah memeluk agama Islam dapat mengalami kepunahan? Tambahan lagi, bukankah sekarang Indonesia merupakan negara demokratis yang menjadi model bagi negara-negara Muslim lainnya. Seakan-akan predikat sebagai negara “demokratis” memberikan tambahan nilai plus di sisi Allah.

Sejujurnya, firasat ini mengatakan kita sedang menuju suatu titik yang nyaris mustahil untuk kembali (point of no return) dalam suatu proses pemusnahan, yang membuat kami mengira republik ini bagaikan Republik Madyan. Proses ini hanya akan terhenti jika terjadi suatu revolusi tauhid di negeri ini. Inilah yang kami pahami dari bencana-bencana yang menimpa negeri ini. Inilah yang menjadi pokok bahasan pada posting kali ini.

Masyakat Indonesia memandang bencana

Pertama-tama kita perlu mengetahui bagaimana cetusan hati hati penduduk negeri ini mengenai rentetan bencana yang menimpa negeri ini yang mereka tuangkan ke dalam tulisan. Berikut di antaranya, sekedar yang dapat kami cuplik dari internet.

Artikel 1: Tsunami, Bencana Tanpa Makna

“26 Desember 2004 tsunami terjadi, bertahun-tahun sudah berlalu. Sisa dan porakporandanya bumi sampai sekarang masih bisa kita saksikan. Aceh dan Nias menjadi bukti dahsyatnya gelombang yang diakibatkan patahnya lempengan bumi.

Sungguh ironi, betapa Tuhan telah memprasastikan tsunami dengan hancurnya Nias dan Aceh, Pangandaran hingga Samoa Amerika. Namun sedikit pun manusia tak pernah menyimpan makna dan arti sebuah bencana dalam hatinya.

Tsunami hampa tanpa makna memang ada. Kebesaran Tuhan lewat tsunami telah menjadi penyepelean manusia, tsunami dianggap sebuah bencana biasa….

Khusus di negeri tercinta hampir memasuki satu dasawarsa bencana masih belum berakhir, bencana keributan terus silih berganti. Tak hanya itu, Tuhan kembali menggulung dan memporak porandakan Ranah Minang,Tanah Pasundan (Tasikmalaya) ribuan nyawa melayang. Sampai di situ manusia tetap tak bergeming, bahkan kemaksiatan terus merajalela. Pariaman, Tasikmalaya, Maluku, Yogja, Bengkulu, Mandailing, Jambi telah lewat, gempa menyusul dihampir separuh daratan di Indonesia. Gunung-gunung memuntahkan isinya Semeru, Anak Krakatau, Merapi…

Yang jadi pertanyaan sekarang, relevankah jika bencana ini disebut dengan siksa atau azab dari Tuhan, bahkan sebelum itu banyak di antara orang fasih beragama dan mengerti agama mengenggap ini adalah sebuah ujian yang patut direnungkan, karena kita masih dikatakannya umat yang beriman…”

Artikel 2: Bencana Gempa Bumi, Membaca Tanda Alam

“Peristiwa tsunami Aceh adalah tragedi pembuka dari awal pemerintahan SBY-JK 2004-2009 yang kemudian terus diwarnai dengan berbagai bencana alam termasuk gempa Yogya setahun kemudian juga tsunami yang melanda Pangandaran.

Kini, setelah Pemilu 2009 berlangsung dan memunculkan kembali SBY sebagai Presiden, nampaknya alam kembali menyambutnya dengan gempa bumi berskala 7.3 SR. Bersyukur kali ini tanpa tsunami.Tapi lantas bagaimana dengan hari-hari ke depan???

Mari kita tunggu saja kelanjutannya…”

Artikel 3: Gempa Bumi dan Rahasia Sang Pemilik Kehidupan

“Kita memang tak bakal sanggup menangkap tanda-tanda dan rahasia Sang Pemilik Kehidupan di balik rentetan bencana yang beruntun melanda negeri ini. Dalam situasi seperti ini, kita juga tidak mungkin saling menyalahkan atau mencari kambing hitam di balik fenomena alam yang (nyaris) meruntuhkan semangat dan etos kebangsaan itu. Namun, stigma negeri “Sejuta Bencana” yang secara mendadak menghapuskan citra negeri “Jamrut Khatulistiwa” itu tak urung memaksa kita untuk melakukan refleksi dan introspeksi diri.”

Artikel 4: Ridwan Saidi: "Bencana Bersama SBY"
(Laporan wartawan Kompas)

“Tanpa bermaksud menjegal, Ridwan Saidi menegaskan lagi, ia mencatat sudah ratusan bencana yang terjadi selama negeri ini dipimpin oleh Presiden SBY. Meski Presiden SBY pernah diruwat pada tahun 2006, katanya lagi, ternyata tak menghilangkan berbagai bencana yang terjadi di Tanah Air.

‘Menurut ramalan metafisik, SBY itu selalu dikuntit sama bencana. Meski 2006 SBY pernah diruwat ternyata tidak mempan juga. Ada 400 bencana yang sudah terjadi, dan tidak termasuk kecelakaan. Ini, sekali lagi, tidak ada urusan dengan pilih SBY atau tidak pilih SBY,’ tandasnya.

Kita hanya mengingatkan saja bahwa sejak SBY menjabat terjadi banyak bencana. Terserah dia apakah mau mundur atau tetap mencalonkan jadi presiden, mau sadar atau tidak. Kita hanya memberitahu pada pemerintah bahwa ada 400 bencana saat SBY menjabat. Itu saja, saya tidak ada urusan dengan pilpres nanti, karena saya akan golput,’ Ridwan Saidi menegaskan kembali.”

Demikianlah, masyarakat Indonesia yang cenderung relijius ini memandang bencana yang bertubi-tubi dengan mata hatinya. Mereka melihat:
1. Deretan bencana bermula dari tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Setelah itu bencana terjadi nyaris tanpa putus, baik bencana alam maupun bencana yang berkaitan dengan aktivitas manusia.
2. Secara kebetulan peristiwa itu terjadi di awal pemerintahan Presiden SBY dan juga terjadi di sepanjang kepemimpinan SBY, sehingga ada yang menghubungkannya dengan pribadi SBY.
3. Bencana-bencana ini benar-benar telah melecut nurani anak negeri, sehingga mereka bertanya-tanya, apa gerangan makna dari rentetan bencana ini? Apakah karena dosa kolektif bangsa ini? Kalau ya, dosa yang mana?

Bencana menurut para ulama

Khusus untuk poin tiga, mereka bertanya kepada para ulama. Pada umumnya jawaban para ulama adalah:

1. Menerangkan sebab diturunkannya musibah berdasarkan sejumlah dalil:

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (artinya),

“Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (QS. Al-Israa’: 59)

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fushilat: 53)

“Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).’"(QS. Al-An’am: 65)

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syuura: 30)

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS. An-Nisaa’: 79)

Demikian juga sebab diturunkannya musibah terhadap umat terdahulu, sesungguhnya Allah SWT telah berfirman (artinya),

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Ankabut: 40)

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pemurah. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS. Saba’: 15-17)

2. Menyerukan kepada kaum Muslimin untuk bertaubat kepada Allah, konsisten di atas agama-Nya, serta waspada terhadap semua yang dilarang, yaitu berupa perbuatan syirik dan maksiat, agar kaum Muslimin selamat dunia dan akhirat, dan agar Allah menahan segala azab dan menganugerahkan segala kebaikan.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (artinya),

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)

“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.” (QS. Al-Maidah: 66)

3. Mendorong untuk merealisasikan faktor-faktor yang menyelamatkan kaum Muslimin dari musibah, yaitu agar pemerintah yang berkuasa konsisten berada di atas kebenaran, menerapkan hukum Allah dan mendorong kepada perbuatan baik dan mencegah perbuatan mungkar.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (artinya),

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al-Hajj: 40-41)

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaaq: 2-3)

dan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda (artinya)

“Barangsiapa menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Penyebab yang bersifat khusus

Penjelasan dari para ulama di atas telah memberikan pencerahan kepada kaum Muslimin, bahwa rentetan musibah yang terjadi di negeri ini seperti yang kita saksikan sejak Desember 2004 pada dasarnya adalah azab karena dosa-dosa, khususnya dosa-dosa yang terbesar, yaitu dosa syirik. Sebagian orang akan mengatakan, bahwa dosa syirik itu telah dilakukan orang yang mengaku Muslim di negeri ini sejak dahulu, bahkan dipertontonkan oleh para pemimpinnya, tetapi seakan-akan rentetan musibah kali ini bersifat khusus, jika ditilik dari musibah “pembuka,” yaitu tsunami di Aceh. Sesungguhnya tidak ada yang dapat memastikan penyebab dari rentetan musibah ini. Akan tetapi, jika seorang itu cukup peka, insya Allah ia akan dapat “merasakan” jenis dosa yang dimaksud.

Perhatikanlah kembali awal mula rentetan bencana ini, Desember 2004, yaitu tak lama setelah dilakukannya pemilihan pemimpin negeri ini di atas platform “demokrasi liberal.” Inilah pertama kalinya sejak negara republik ini berdiri, penduduk negeri ini mewujudkan “keyakinannya atas agama demokrasi liberal” secara murni dan konsekuen, bahwa semua warga negara apa pun agama dan keyakinannya adalah sama di atas platform ini. Implikasi dari keyakinan ini adalah, penduduk negeri ini, khususnya pelaku demokrasi liberal itu, meyakini bahwa semua agama itu sama benarnya, sama baiknya.

Pada titik ini perdebatan akan mengerucut pada: apakah demokrasi merupakan suatu kekufuran di dalam agama Islam? Karena jika jawabannya ya, maka berarti kekufuran itu dilakukan secara massal!

Kita dapat memperoleh jawaban yang meyakinkan berdasarkan analisis terhadap hadits shahih berikut ini:

Abdullah bin Umar berkata, “Kami suatu ketika duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membicarakan fitnah al-ahlas. Seseorang bertanya, ‘Apa itu fitnah al-ahlas?’ Beliau menjawab, ‘Itu adalah fitnah hilangnya harta dan keluarga. Kemudian fitnah as-sarra’ (harta yang melimpah). Seseorang dari keluargaku masuk ke dalam fitnah itu. Ia mengira bahwa ia berasal dariku padahal tidak. Sesungguhnya wali-waliku adalah orang-orang yang bertakwa. Kemudian manusia berdamai dengan seorang laki-laki seperti pangkal paha di atas rusuk. Kemudian muncul fitnah orang bodoh, dan tidak seorang dari umat ini yang lolos dari fitnah tersebut. Jika dikatakan fitnah itu telah berhenti, ia makin menjadi-jadi. Di pagi hari seseorang masih mukmin, tetapi di sore hari ia menjadi kafir. Manusia pun menjadi dua kelompok: kelompok beriman yang tidak ada kemunafikan di dalamnya dan kelompok munafik yang tidak ada iman di dalamnya. Jika demikian keadaan kalian, maka tunggulah Dajjal hari ini atau esok.” (HR. Abu Dawud, Hakim, dan Ahmad)

Hadits di atas bercerita tentang peristiwa di akhir zaman, dengan indikasi disebutkannya fitnah Dajjal. Sebagaimana kita ketahui, fitnah Dajjal adalah di antara tanda-tanda besar Hari Kiamat. Fitnah-fitnah yang disebutkan di dalam hadits di atas juga terjadi secara berurutan. Dengan demikian, jika kita mampu mengingat-ingat peristiwa demi peristiwa yang paling memberikan dampak psikologis yang mendalam kepada kaum Muslimin, dan mengurutkannya secara logis dan proporsional sesuai hadits di atas, niscaya kita akan dapat memahami makna dari hadits tersebut.

Lalu peristiwa apakah pada masa satu abad terakhir ini yang layak untuk disebut sebagai fitnah al-ahlas? Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa itu berarti fitnah hilangnya harta dan keluarga. Kami menduga, wallahua’lam, peristiwa yang paling menyentuh hati kaum Muslimin sedunia pada periode ini, yang bermakna hilangnya harta dan keluarga, adalah peristiwa terusirnya lebih dari tiga ratus ribu kaum Muslimin dari tanah Palestina yang telah mereka diami selama berabad-abad akibat peperangan dengan imigran Yahudi yang berdatangan dari Benua Eropa dan tempat-tempat lainnya di dunia, dengan puncaknya berupa berdirinya negara Zionis Yahudi pada 14 Mei 1948. Warga Palestina yang malang itu dipaksa untuk meninggalkan segenap harta benda mereka di tanah kelahirannya, bahkan sebagiannya pergi dengan keadaan tercerai-berai dari keluarganya. Fitnah itu masih menetap bersama kaum Muslimin hingga hari ini.

Akibat dari pengusiran secara paksa itu, bangsa Palestina berjuang untuk merebut kembali tanah air mereka dengan segala macam cara. Sebagiannya membentuk organisasi-organisasi berdasarkan ideologi Sosialisme-Komunisme yang tengah naik daun pada periode 1950-1970-an. Sebagian lagi berjuang berdasarkan ideologi Nasionalisme sekular. Paling akhir, sebagiannya terpesona dengan semangat revolusi ‘ala Khumaini di Iran. Tak satu pun dari metoda itu yang mampu mengusir orang-orang Yahudi dari tanah Palestina.

Kemudian datang fitnah as-sarra’, fitnah harta. Agaknya ini bermula dari dieksploitasinya ladang-ladang minyak di jazirah Arab, khususnya Arab Saudi. Lonjakan kemakmuran terjadi akibat keputusan embargo minyak oleh Raja Faisal pada 1974 menyusul Perang Arab-Israel pada 1973, yang membuat harga minyak melambung tinggi. Negara-negara Arab pengekspor minyak tiba-tiba mendapat limpahan kekayaan yang luar biasa besar. Sejak saat itu dimulailah program pembangunan sarana dan prasarana secara besar-besaran di Arab Saudi dan negara-negara Arab pengekspor minyak lainnya.

Melimpahnya kekayaan ini menyisakan dampak negatif (baca: fitnah) berupa perilaku berfoya-foya, menghambur-hamburkan harta, perdagangan yang tidak sesuai syariat Islam, dan berbagai bentuk kemaksiatan lainnya. Hal lain yang sangat menonjol adalah hubungan dengan keeratan yang sangat berlebihan antara elit pemerintahan/keluarga Kerajaan Arab Saudi dengan negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat. Situasi ini menimbulkan penolakan bahkan kemarahan dari sebagian warga Arab Saudi. Mereka menuntut agar segenap penyimpangan itu, yang sangat tidak pantas terjadi di negeri di mana dua tempat suci Islam berada, dihapuskan.


Puncak dari ketidakpuasan itu adalah terjadinya aksi makar oleh Juhaiman bin Saif al-Utaibi di Masjidil Haram pada November 1979. Juhaiman bersama ratusan orang pengikutnya mendeklarasikan saudara iparnya yang bernama Muhammad bin Abdullah sebagai Imam Mahdi dan menuntut agar jemaah yang hadir membai’atnya.

Sebagaimana kita ketahui, Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah mengabarkan bahwa di akhir zaman akan muncul seorang imam yang namanya sama dengan nama beliau dan nama bapaknya sama dengan nama bapak beliau. Dengan demikian ia akan bernama Muhammad bin Abdullah. Sebagian orang terfitnah, mengira ipar Juhaiman ini adalah Imam Mahdi yang dijanjikan, lalu menjadi pengikutnya. Pada kenyataannya, Muhammad bin Abdullah yang satu ini berasal dari suku Qahtani, bukan dari suku Quraisy. Jadi, ia sebenarnya tidak berasal dari keturunan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Alangkah akuratnya sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, “Ia mengira bahwa ia berasal dariku padahal tidak” Dengan demikian klaimnya tentang Imam Mahdi menjadi batal. Dibutuhkan waktu dua minggu bagi pemerintah Arab Saudi untuk menumpas makar ini.

Waktu berlalu. Pada 1991 Saddam Hussein membuat ulah dengan menginvasi Kuwait. Lalu Amerika memimpin pasukan koalisi untuk membebaskan Kuwait. Setelah itu, bukannya kembali pulang ke kampung halamannya, pasukan Amerika justru membuat pangkalan-pangkalan yang sangat besar di Arab Saudi dan beberapa negara Arab lainnya. Pada saat itu Raja Fahd adalah penguasa Kerajaan Arab Saudi. Pada masa itulah kembali muncul penentangan yang sangat keras kepada pemerintah Arab Saudi atas politik akomodasinya terhadap kepentingan Amerika Serikat. Banyak orang yang sangat membenci kebijakan Raja Fahd. Barangkali inilah masa yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai, “Kemudian manusia berdamai dengan seorang laki-laki seperti pangkal paha di atas rusuk.” Ucapan beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini menyiratkan ketundukan masyarakat yang sangat longgar kepada pemimpinnya. Pada periode ini bibit-bibit anasir Khawarijisme yang disemaikan pada era Juhaiman bin Saif, mulai tumbuh dengan subur, yang akhirnya melahirkan gerakan Al-Qaida dan yang sejenisnya pada periode selanjutnya. Wallahua’lam.

Waktu terus berlalu. Pada 2001 Amerika menginvasi Afghanistan, dilanjutkan dengan Irak pada 2003, lalu dengan congkak mereka memerintahkan segenap negeri-negeri Muslim untuk mengekor mereka, menganut agama Demokrasi. Mereka bahkan juga menuntut agar sejumlah aspek tertentu di dalam agama Islam, seperti jihad, penghinaan terhadap kekafiran, dihapus dari ajaran agama Islam. Di negeri-negeri Muslim, mereka menerima agama Demokrasi ini, baik dengan senang hati maupun secara terpaksa. Mereka kehilangan sikap kritisnya; mereka dilanda kebodohan; semakin hari mereka semakin asyik dengan mainan baru ini tanpa pernah menyadari, bahwa keyakinan baru ini sebenarnya bertentangan secara diametral dengan Islam.

Sekarang, saksikanlah, betapa banyaknya orang yang meneriakkan jargon-jargon, “demi Demokrasi,” “atas nama HAM,” “kesetaraan gender,” dan yang sejenisnya tanpa mereka ketahui konsekuensinya atas keimanan dirinya. Mereka juga mengatakan, “Sekarang bos kita (baca: tuhan kita) adalah rakyat, apa yang mereka mau harus kita turuti.” Bahkan seandainya keinginan bosnya itu berseberangan dengan syariat Islam, mereka tetap akan menerabasnya.

Kita menyaksikan, pada pagi hari seorang masih Muslim. Ketika malam tiba, di layar televisi dia menyampaikan pendapatnya menolak diterapkannya hukuman mati (yang menjadi bagian dari hukum pidana Islam) karena bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Ini adalah kekafiran. Atau, pada malam hari ia masih khusyuk mengikuti pengajian di masjid. Di pagi harinya, ia memimpin demo untuk menentang poligami karena merupakan pelanggaran terhadap hak-hak kaum perempuan. Ia menentang sesuatu yang dihalalkan Allah! Ini pun suatu kekafiran. Ketika masih menjadi warga biasa ia tidak pernah mengeluarkan pendapat yang aneh-aneh. Ketika menjadi pejabat tinggi ia malah mendeklarasikan penentangannya terhadap hukum waris, karena dianggap tidak adil. Ia menganggap hukum Allah tidak adil! Ini kekafiran yang sangat besar! Barangkali inilah masa yang disebut Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagai, “Di pagi hari seseorang masih mukmin, tetapi di sore hari ia menjadi kafir.” Dan kegilaan itu semakin menjadi-jadi dari waktu ke waktu. Siapakah yang lolos dari fitnah demokrasi ini pada hari ini? Hanya mereka yang berada dalam petunjuk dan bimbingan Allah! Wallahua’lam. Jika sudah demikian, tak lama lagi tentu akan muncul Dajjal. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak menyebutkan kemunculan Imam Mahdi sebelum kemunculan Dajjal, karena beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memang sedang membicarakan masalah fitnah saja.

Pengurutan secara benar peristiwa besar demi peristiwa besar yang dialami kaum Muslimin yang selaras dengan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di atas dalam rentang waktu hingga menjelang keluarnya Dajjal, secara logis memunculkan kesimpulan, bahwa demokrasi adalah sebuah fitnah besar; sebuah ketololan besar yang dapat membuat seorang murtad dari agama Islam. Wallahua’lam

Kita juga dapat membuktikan bahwa keyakinan “semua agama itu benar” sebagaimana yang digagas oleh para “Guru Bangsa” negeri ini, khususnya melalui platform demokrasi liberal, benar-benar dapat mengundang kebinasaan yang diturunkan dari atas langit. Ini telah terjadi pada kaum Muslimin generasi terakhir yang mendiami tanah Andalusia pada abad XV Masehi. Mereka musnah! Perhatikan catatan sejarah oleh Ahmad Thomson & Muhammad ‘Ata ‘Ur Rahim, di dalam bukunya Islam di Andalusia, Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhannya, Gaya Media Pratama, Desember 2004, hal. 206-208 berikut ini. Perhatikanlah betapa miripnya penggambaran situasi bencana ketika itu dengan bencana tsunami yang kita alami.

“Jika kita mempercayai ahli sejarah kota itu, begitu banyak peringatan yang didapatkan oleh kaum Muslim Granada mengenai hukuman dari ‘langit’ yang tengah menghampiri mereka, dan kehancuran imperium mereka lebih dari sekali diumumkan.…

Suatu hari, ketika Sultan seperti biasa tengah duduk-duduk di paviliunnya dan pasukan lewat di depannya, puncak dan sisa-sisa perbukitan as-Sabikah yang berdekatan (dengan tempat itu) disesaki oleh para penonton yang meninggalkan kediaman mereka untuk menyaksikan pawai tersebut, Allah memperkenankan turunnya hujan yang amat deras secara tiba-tiba dan Sungai Darro meluap hingga menenggelamkan tepiannya. Begitu dahsyat bencana itu, mengalir deras dari pegunungan sekitarnya, membawa muatan batu-batuan besar dan pepohonan, menghancurkan semua yang menghalangi jalannya, dan rumah-rumah, toko-toko, pabrik, kincir, penginapan, pasar, jembatan, dan tembok taman menjadi mangsa banjir badang itu. Air mengalir hingga mencapai masjid agung.

Banjir yang amat mengerikan itu belum pernah dialami di negeri tersebut, dan rakyat secara natural mengartikan hal tersebut sebagai pertanda dari malapetaka mengerikan yang menanti kaum Muslim sebagai balasan dari kesesatan dan tindakan-tindakan mereka yang salah…

Pada 1491, Ferdinand mulai mengepung Granada. Selama bulan-bulan musim panas, ia membangun sebuah kota kecil di luar kota Granada, yang menandakan tekadnya yang kuat untuk melanjutkan pengepungan Granada sepanjang musim dingin. Kaum Muslim yang dikepung menjadi semakin putus asa seiring waktu berlalu. Akhirnya, setelah tujuh bulan, semua makanan di Granada habis dan, saat itu adalah pertengahan musim dingin, sejalan dengan udara yang makin menggigit dinginnya, sama sekali tak ada prospek untuk terbebaskan.

Pada saat itulah, Khalifah Granada, Abu Abdullah, berkeputusan untuk mengadakan pakta dengan pasukan Kristen Trinitarian, daripada melihat semua orang mati kelaparan. Setelah sebuah pakta yang menguntungkan disetujui dan ditandatangani sebagaimana mestinya, Khalifah menyerah pada pasukan Kristen Trinitarian pada Januari 1492…

Dikatakan bahwa saat Abu Abdullah menangisi apa yang hilang darinya, ibundanya berkata kepadanya, ‘Jangan menangis seperti seorang perempuan untuk sesuatu yang tidak dapat kaupertahankan seperti laki-laki’”
Seperti yang tertulis di dalam buku-buku sejarah, betapa mengenaskannya nasib kaum Muslimin sepeninggal Khalifah Abu Abdullah yang kembali ke Benua Afrika itu; pakta itu dengan sewenang-wenang dilanggar, kaum Muslimin dipaksa untuk memeluk agama Kristen, dibakar bagi yang menolak; disiksa, dihina, dicurigai, dan diteror seumur hidupnya bahkan bagi mereka yang berhasil dibaptis secara paksa pun, diperlakukan sebagai budak, dan akhirnya generasi terakhirnya (Morisco, yang telah dibaptis secara paksa) diusir dari tanah Spanyol, hingga hampir tak tersisa (keturunan) orang Islam di sana….

Penyimpangan massal apakah yang dilakukan oleh rakyat Granada yang membuat Allah tidak menurunkan pertolongan, bahkan membiarkan mereka hancur dengan sangat terhina? Marilah kita periksa keadaan kehidupan rakyat Granada pada masa itu (Ahmad Thomson & Muhammad ‘Ata ‘Ur Rahim, Islam di Andalusia, Sejarah Kebangkitan dan Keruntuhannya, Gaya Media Pratama, Desember 2004, hal. 121-128).

“Masih pada 1145 M, setelah al-Murabitun terakhir di Afrika Utara terkalahkan sepenuhnya, gelombang pertama al-Muwahhidun mendarat di Andalusia dan mengambil alih Algericas…Efek dari penaklukan-penaklukan awal yang dilakukan oleh al-Muwahhidun ini berhasil mempersatukan umat Muslim di bagian selatan Andalusia, dan pada akhir abad ke-12 M dan awal abad ke-13 M dapat disaksikan kembalinya secara mendalam pelaksanaan ajaran Islam dalam segala kesederhanaan dan kedalamannya, terutama di propinsi Andalusia, Granada, dan Murcia.

Kebangkitan kembali nilai spiritual ini, yang bersamaan waktunya dengan kedatangan kaum Paulician di Eropa khususnya di bagian selatan Perancis, menyaksikan kelahiran dan kehidupan Muhyiddin ibn ‘Arabi, atau yang dikenal dengan sebutan asy-Syaikh al-Akbar. Beliau lahir di Murcia pada 1165 M (27 Ramadhan 560 H)…

Beberapa karya Ibn ‘Arabi yang lainnya, seperti Ruh al-Quds dan ad-Durrah al-Fakhirah, memberikan gambaran yang gamblang mengenai kehidupan pemeluk Islam yang memenuhi daratan Andalusia sepanjang masa kehidupannya. Salah seorang dari umat Muslim ini adalah Abu Ja’far al-‘Uryani, ‘Meskipun ia adalah seorang penduduk yang buta huruf, tidak dapat menulis dan berhitung, orang hanya perlu mendengarkan penjelasannya mengenai doktrin Kesatuan (maksudnya konsep wihdatul wujud/pantheisme, penj.) untuk mengagumi ketinggian spiritualnya. Dengan menggunakan kekuatan konsentrasinya, ia dapat mengendalikan pikiran-pikiran orang, dan dengan kata-kata ia dapat menyelesaikan rintangan-rintangan yang timbul dari masalah eksistensi. Ia senantiasa ditemui dalam keadaan suci dengan wajah menghadap kiblat dan terus-menerus mengagungkan asma Allah Subhanahu wa Ta'ala…

Praktik Islam di Andalusia dihidupkan kembali oleh para guru Sufi yang membimbing umat Muslim untuk menjalankan ajaran agama dan untuk mengenali hikmah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hal ini pada gilirannya mulai menyadarkan kaum Muslim di Afrika Utara dan Afrika Timur. Demikianlah, akhirnya Ibn al-‘Arabi sendiri pergi ke Damaskus, tempat ia menghembuskan napas terakhirnya pada 1240 M…”

Demikianlah kami meringkas suasana keagamaan di tengah-tengah kaum Muslimin di Andalusia pada abad 12 M yang mulai kehilangan kemurniannya semenjak berkembangnya ajaran kaum sufi, dan memuncak dengan berkembangnya ajaran kufur wihdatul wujud (pantheisme), dengan tokoh utamanya Ibnu ‘Arabi.

Bagaimana sesatnya aqidah Ibnu ‘Arabi dapat dilihat dari salah satu syair gubahannya,
“Dahulu saya tak suka pada temanku
Kalau agamaku tidak berdekatan dengan agamanya
Sekarang hatiku telah menerima akan segala bentuk
Padang pengembalaan kijang, biara tempat rahib bertekun
Rumah berhala, Ka’bah tempat orang thawaf
Luh tempat Taurat tertulis, Mushaf tempat Qur’an terlukis
Aku memeluk cinta kemana pun hadap tujuanku
Kendaraanku:
Cinta adalah Agamaku dan Imanku.”

Pada zamannya, Ibn ‘Arabi mendapat gelar “asy-Syaikh al-Akbar” (Guru Besar). Bukankah gelar ini setara dengan gelar “Guru Bangsa” yang disematkan oleh mayoritas kaum Muslimin di negeri ini kepada tokoh-tokoh idolanya itu?

Kasus Kaum Muslimin Granada juga nyaris menimpa kaum Muslimin Ambon. Cobalah periksa budaya Pelagandong yang mereka banggakan itu, niscaya orang akan mendapati bahwa isinya tak lain dari aqidah ibn ‘Arabi! Maka mereka nyaris dimusnahkan! Mereka mendapat teguran yang sangat keras dari langit.

Demikian pula dengan kaum Muslimin di Sarajevo, di tanah Balkan. Cobalah periksa aqidah mereka ketika itu! Dari laporan sejumlah media massa kita mengetahui, bahwa bagi mereka agama Islam tak lebih dari sebuah budaya! Maka mereka nyaris dimusnahkan! Mereka mendapat teguran yang sangat keras dari langit.

Di negeri kita ini, karena mayoritas penduduknya Muslim, agaknya skenario Granada tidak berlaku. Sebagai gantinya, barangkali Allah menjadikan bencana-bencana alam ini sebagai bagian dari proses pemusnahan. Wallahua’lam. Tidakkah kita mendengar perbincangan di kalangan ahli geologi tentang kembali aktifnya sesar Lembang? Mereka mengatakan, jika terjadi gempa akibat aktifnya sesar lembang ini, bencana yang terjadi akan berskala dunia. Tidakkah kita mendengar perbincangan mereka tentang prediksi akan terjadinya gempa berskala besar di bagian barat pulau Sumatera? Tidakkah kita meperhatikan virus-virus maut berkeliaran memperkenalkan dirinya belum lama berselang? Maka takutlah kita akan tragedi yang mungkin akan menimpa kita, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (artinya),

Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau Kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam Al-Kitab (Lauh Mahfuzh). Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. Dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti.” (QS. Al-Isra’: 58-59).

Maka takutlah kita bahwa kaum Muslimin di negeri ini akan dibinasakan sebagaimana yang telah terjadi atas kaum Muslimin Granada, sementara di belahan dunia yang lain, kaum Muslimin justru tengah menaklukkan kota Roma dan menghancurkan salib yang menggantung di gereja Santo Petrus kota Vatikan, sebagaimana pula kaum Muslimin dahulu menaklukkan Konstantinopel. Disebutkan di dalam sebuah hadits (artinya),

Dari Abdullah Ibnu Amer Ibnu Al-Ash: “Suatu ketika, kami sedang menulis di sisi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Tiba-tiba beliau ditanya: “mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Rumiyyah (Roma)? Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: ‘Kota Heraklius akan ditaklukan lebih dahulu, yakni Konstantinopel.’” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim, dan lain-lain).

Dua peritsiwa yang bertolak belakang terjadi pada dua kelompok kaum Muslimin, yang tak lain adalah realisasi dari firman Allah (artinya),

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maa-idah: 54)

Sebagaimana yang kami ragukan di awal tulisan ini, mungkinkah kaum Muslimin di negeri ini meninggalkan agama demokrasi liberal yang dipeluknya setelah berjalan sedemikian jauh dan merasa bangga dengannya?



Wallahua’lam