Pada posting kali ini kami akan membahas ihwal korupsi, sebuah penyakit masyarakat yang telah menimbulkan kegeraman yang memuncak, sedemikian rupa sehingga ada yang mengusulkan agar para koruptor itu dihukum mati saja. Kami mengusulkan sebuah jalan keluar guna mengatasi masalah tersebut.
Korupsi telah mewabah di dalam kehidupan masyarakat
Jika seseorang ditanya, apakah penyakit masyarakat
Korupsi praktis telah mengenai segenap kategori masyarakat tak terkecuali kalangan agamawan. Sampai-sampai, seorang kenalan penegak hukum di sebuah kabupaten di Jawa Tengah (konon lagi di kota-kota besar) pernah mengatakan kepada kami bahwa ia sama sekali tidak percaya dengan atribut keagamaan seseorang, karena ia telah menyaksikan sendiri kaum agamawan itu tidak ada bedanya dengan orang-orang awam lainnya dalam hal keterampilan melakukan korupsi! Sementara itu, sebagaimana kata pepatah, menepuk air di tempayan, terpercik muka sendiri. Sudah dimaklumi, para penegak hukum itu sendiri juga melakukan “penegakan” praktek korupsi secara sangat masif dan brutal!
Bukan hanya hari-hari ini saja korupsi menjadi bahan pembicaraan penduduk negeri ini. Berpuluh-puluh tahun yang lalu budayawan Muchtar Lubis pun telah menulis bahwa korupsi telah membudaya di dalam masyarakat
Bukan pula tidak ada usaha pencegahan dan penindakan terhadap perilaku koruptif ini. Di departemen-departemen tertentu, guna mencegah tindakan korupsi, gaji mereka telah dinaikkan bekali-kali lipat dari gaji sejawatnya di departemen yang lain, ternyata korupsi tidak mereda. Beberapa kasus yang terungkap di Departemen Keuangan benar-benar membuat masyarakat heran tak habis pikir, bagaimana orang dengan kedudukan serendah itu dapat mengeruk keuntungan sebesar itu dalam waktu sesingkat itu? Bukan hanya upaya pencegahan, upaya penindakan juga telah ditingkatkan dengan mendirikan lembaga khusus dengan wewenang khusus, KPK. Akan tetapi kini KPK pun telah menjadi sasaran konspirasi bahkan oleh sejawat penegak hukum lainnya. Mengerikan sekali…
Setengah putus asa, orang-orang mulai berwacana, bahwa agar para koruptor itu jera, mereka perlu diancam hukuman mati. Sesungguhnya usulan seperti ini menunjukkan kekeliruan di dalam melihat hakekat dari mewabahnya penyakit korupsi ini.
Sebuah jalan keluar
Adakah jalan keluar? Bukankah penduduk negeri ini mayoritas beragama Islam? Jika kaum Muslimin baik, maka baik pula negeri ini, demikian pula sebaliknya. Karena penduduk negeri ini mayoritas beragama Islam, tentulah para pelaku korupsi itu mayoritas juga beragama Islam, sehingga selayaknya pemegang otoritas negeri ini menengok kepada agama Islam untuk mengatasi permasalahan ini. Agama Islam yang suci ini adalah agama langit, tidak diturunkan dengan main-main, dan bukan untuk dijadikan mainan. Agama yang suci ini memiliki obat, yang tak dapat ditandingi oleh akal-akal mungil manusia sekular yang angkuh itu, guna mengatasi persoalan yang berkaitan dengan “hati” manusia ini.
Perhatikanlah wahai manusia, di masa lalu yang jauh di negeri Madyan telah terjadi hal yang sama. Bangsa Madyan gemar memalsukan timbangan dan berbagai kecurangan lainnya; sifat amanah telah hilang dari hati penduduk Madyan. Sesungguhnya hilangnya sifat amanah pada bangsa Madyan itu secara umum tak lain dari petanda tiadanya pengetahuan akan batas-batas antara perbuatan baik dan perbuatan buruk, dan secara khusus sebagai petanda telah rusak/hilangnya ketauhidan dari dalam hati mereka. Mereka menganggap perbuatan curang itu sekedar sebuah budaya di antara budaya-budaya lain yang mereka praktekkan sehari-hari; tak ada yang mereka takuti; tak ada keyakinan bahwa Dzat Yang telah Menciptakan mereka kuasa menimpakan azab atas perbuatan mungkar itu; hawa nafsu telah mereka jadikan tuhan selain Allah. Oleh karena itu, logis sekali, terapi dari penyakit ini, pertama-tama tentulah dengan menanamkan kembali ketauhidan ke dalam hati bangsa Madyan ini. Setelah itu baru diikuti dengan penanaman akhlak yang baik dan berbagai sifat-sifat produktif lainnya.
Guna memperbaiki akhlak bangsa Madyan yang gemar melakukan korupsi itu Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus Nabi Syu’aib 'alaihissalam. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (artinya),
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata, ‘Hai kaumku, ibadahilah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah yang patut diibadahi bagimu selain Dia..’” (QS. Al-A’raaf: 85)
“Kepada penduduk Madyan Kami utus saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan.’” (QS. Huud: 84)
Demikian pula halnya dengan penyakit kronis yang menimpa bangsa
Tauhid dengan pemahaman yang benar
Sebagian orang mungkin akan mengatakan, bukankah kaum Muslimin di negeri ini sudah bertauhid dengan bersyahadat dan melakukan ibadah secara teratur, tetapi mengapa korupsi tetap merajalela? Inilah dia masalah berikutnya. Kaum Muslimin bertauhid tidak sebagaimana tauhid yang didakwahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan diikuti oleh para ulama yang konsisten sehingga tidak mengetahui konsekuensi dari tauhid tersebut.
Sesungguhnya tauhid yang didakwahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengandung tiga komponen yang tak dapat dipisahkan, yaitu:
1. Tauhid Rububiyah
Yaitu mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam segala perbuatan-Nya, dengan meyakini bahwa Dia sendiri yang menciptakan segenap makhluk. (Rujukan QS. Az-Zumar: 62).
Bahwa Dia adalah Pemberi rizki bagi setiap manusia, binatang dan makhluk lainnya. (Rujukan QS. Huud: 6)
Dan bahwasanya Dia adalah Penguasa alam dan Pengatur semesta, Dia yang mengangkat dan menurunkan, Dia yang memuliakan dan menghinakan, Mahakuasa atas segala sesuatu. Pengatur rotasi siang dan malam, Yang menghidupkan dan Yang mematikan. (Rujukan QS. Ali ‘Imran: 26-27)
Allah telah menafikan sekutu atau pembantu dalam kekuasaan-Nya. Sebagaimana Dia menafikan adanya sekutu dalam penciptaan dan pemberian rizki. (Rujukan QS. Luqman: 11 dan Al-Mulk: 21)
Allah menyatakan pula tentang keesaan-Nya dalam rububiyah-Nya atas segala alam semesta. (Rujukan QS. Al-Fatihah: 2, Al-A’raaf: 54)
Allah menciptakan semua makhluk-Nya di atas fitrah pengakuan terhadap rububiyah-Nya. Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam ibadah juga mengakui keesaan rububiyah-Nya. (Rujukan QS. Al-Mu’minun: 86-89)
Hal ini berkonsekuensi bahwa siapa pun yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan mengimani tidak ada pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam kecuali Allah, maka ia harus mengakui bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah dengan segala macamnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Tauhid Uluhiyah (Tauhid ibadah):
Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para hamba berdasarkan niat untuk mendekatkan diri sebagaimana yang disyariatkan seperti melalui doa, nadzar, kurban, raja'raghbah (senang), rahbah (takut) dan inabah (kembali/taubat). Jenis tauhid ini adalah inti dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. (Rujukan QS. An-Nahl: 36, Al-Anbiyaa': 25, Al-A'raf: 59, 65, 73, 85, Al-Ankabut: 16, Az-Zumar: 11, Muhammad: 19) (pengharapan), takut, tawakkal,
Pemahaman tauhid ini berimplikasi pada makna syahadat.
Makna Syahadat "Laa ilaaha ilallah"
Yaitu beri'tikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala, mentaati hal tersebut dan mengamalkannya.
Makna Syahadat "Muhammadaarasulullah"
Yaitu mengakui secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya: mentaati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyariatkan.
Konsekuensi Syahadat "Laa ilaaha ilallah" adalah meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala macam yang dipertuhankan sebagai keharusan dari peniadaan laa ilaaha ilallah. Dan beribadah kepada Allah semata tanpa syirik sedikit pun, sebagai keharusan dari penetapan illallah. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (artinya),
“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” (QS. Az Zumar: 2-3)
“Katakanlah: ‘Hanya Allah saja yang aku ibadahi dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.’ Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia..” (QS. Az-Zumar: 14-15)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat..” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Konsekuensi dari Syahadat "Muhammadaarasulullah" adalah mentaati, membenarkannya, meninggalkan apa yang dilarang, mencukupkan diri dengan mengamalkan sunnahnya, dan meninggalkan yang lain dari hal-hal bid'ah dan muhdatsat (baru), serta mendahulukan sabdanya di atas segala pendapat orang.
3. Tauhid Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (artinya):
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy-Syuura: 11)
Dengan pemahaman tauhid yang utuh sebagaimana dipaparkan di atas, niscaya akan membawa seseorang kepada segenap keyakinan, akhlak dan perbuatan dalam koridor pemahaman tersebut, yaitu di antaranya keyakinan yang mendalam bahwa Allah Maha Melihat segala perbuatan hamba-hamba-Nya, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya, Maha Adil, Maha Pemberi rezeki, Maha Mengetahui dan Mengabulkan doa hamba-hamba-Nya, sehingga seorang Muslim akan merasa tenang terhadap rezekinya, tidak merasa iri terhadap rezeki yang diperoleh orang lain, tidak cenderung kepada perbuatan zalim, mengetahui tempat untuk mengadu, dan secara umum cenderung kepada sifat-sifat yang mulia dan produktif. Ia mengetahui, bahwa teladannya yang sah hanyalah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan pemahaman tauhid yang benar dengan memenuhi segenap konsekuensinya, niscaya Allah akan membimbing setiap Muslim kepada penyelesaian yang terbaik terhadap segenap masalah yang ia hadapi, dan melindunginya dari segenap keburukan yang dilancarkan oleh orang-orang yang memusuhinya.
Kini, marilah kita simak kondisi tauhid bangsa Indonesia berdasarkan hasil jajak pendapat berikut ini (Hartono Ahamd Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, hal. 220 s/d 221).
“Riset dan survei tentang Akhlak (Moral) Iman kepada Tuhan versus Kepercayaan kepada Kekuasaan Ghaib selain Tuhan, dilakukan oleh Yayasan Nusantara, LSM yang bergerak di bidang sosial, ekonomi dan pendidikan rakyat. Hasilnya disimpulkan bahwa bangsa
Tercatat sebagian besar responden yaitu 64% mengaku percaya dan mempunyai hubungan atau pernah punya hubungan dengan praktek perdukunan, santet, klenik, pelet atau susuk….
Yang memprihatinkan lagi, sebagian besar dari responden nyatanya sangat percaya dengan perdukunan, pergi ke kuburan dan tempat yang dikeramatkan, ke peramal dan meyakini kebenaran horoskop.
Sebanyak 50,2 % dari 500 responden mengaku bahwa hal-hal demikian mereka jadikan landasan berpikir, bertindak dan menentukan sikap dalam kegiatan sehari-hari….
Dari survei ini juga terungkap bahwa masyarakat
Lalu bagaimana pula kondisi di kalangan para pendidiknya? Kita telah mendengar dengan sangat jelas bagaimana para profesor di universitas-universitas Islam yang dikelola pemerintah itu memahami dan mendakwahkan tauhid hanya sebatas tauhid rububiyah. Mereka mengobrak-abrik makna tauhid, melakukan sekularisasi dan rasionalisasi terhadap agama yang suci ini. Mereka berupaya mati-matian membuang Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari kehidupan kaum Muslimin. Hasilnya adalah suatu komunitas Muslim yang tidak lagi memahami sifat-sifat Penciptanya dan terasing dari teladan yang benar dalam kehidupannya. Maka itulah saat yang tepat bagi hawa nafsunya untuk menguasai jiwanya.
Jika kemungkaran telah dilakukan dalam tingkat yang tertinggi, merusak agama, apa lagi yang menghalangi mereka untuk melakukan kemungkaran dalam tingkat yang lebih rendah semisal korupsi? Oleh karena itu ketika kita melihat sebuah departemen semacam Departemen Agama kerap mendapat peringkat tinggi di dalam tindak korupsi, sangat boleh jadi itu petanda kerusakan aqidah telah merasuki sebagian besar staf di
Jika departemen yang mengurusi urusan agama saja sudah seperti ini kondisinya, tentu bukan hal yang mengherankan jika departemen-departemen teknis lainnya juga mengalami penyakit yang sama jika tidak lebih parah. Perhatikan contoh berikut ini.
Suatu hari kami mendengar di televisi seorang tamu mengisahkan pengalamannya berdialog dengan seorang mantan menteri di zaman Orde Baru. Sang menteri menceritakan kepada si tamu stasiun televisi itu tentang bagaimana cara ia mencari duit dari para kontraktor yang tengah mengerjakan proyek di departemennya. Mula-mula ia menekan harga penawaran dari kontraktor-kontraktor itu “habis-habisan” agar tidak merugikan negara, setelah itu baru ia memeras kontraktor tersebut. Dengan perbuatannya itu ia tidak merasa telah melakukan perbuatan korupsi karena ia tidak merasa telah merugikan negara. Bukankah sebelumnya ia telah “mati-matian” menekan harga penawaran si kontraktor? Lalu dapatkah kita bayangkan apa yang akan dilakukan para bawahannya? Barangkali sebagiannya akan mengatakan, ia hanya memotong anggaran proyek 3% dan menganggap jumlah itu sudah termasuk kecil; yang lainnya akan mengatakan, dipotong 2% tidak akan membuat negara ini runtuh; yang lainnya lagi akan mengatakan boss saja juga begitu kok; yang lainnya lagi akan mengatakan, kalau tidak begitu dapurnya tidak ngebul…dan seterusnya. Kontraktor yang tak mau rugi tentu akan mengurangi kualitas proyek dan bersiap-siap menyediakan uang suap bagi tim auditor jika kecurangannya diketahui.
Akhirnya adalah sebuah kerusakan yang masif. Lihatlah, bagaimana sang mantan menteri tersebut telah menjustifikasi perbuatan korupsinya itu berdasarkan prinsip-prinsipnya sendiri yang rusak. Ia sama sekali tidak peduli dengan apa yang termuat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, barangkali karena ia tak pernah tahu, atau memang benar-benar tidak mau tahu; ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu memiliki konsekuensi terhadap amal-amal ibadahnya, seandainya ia memang beribadah secara teratur; tidak tertanam di dalam hatinya bahwa Allah kuasa menimpakan musibah atas perbuatan zalimnya itu di dunia ini sebelum di akhirat kelak; ia sama sekali tidak memiliki keyakinan bahwa kejujuran dan kesabaran pada akhirnya akan membawa kepada keberuntungan di dalam kehidupannya di dunia ini dan di akhirat kelak. Ia adalah tipikal kaum sekular. Demikianlah para pejabat tinggi dan kaum elit pada umumnya.
Kini di hadapan kita ada dua pilihan: Pertama, memilih solusi selain dari dakwah kepada tauhid, yang sudah dapat dipastikan kegagalannya. Atau kedua, melakukan dakwah kepada tauhid secara habis-habisan pada semua strata masyarakat termasuk kaum elitnya dengan kemungkinan berhasil (diterima termasuk oleh kaum elit) atau gagal (sebagian besar menolak). Maka sesungguhnya pilihan yang terbaik adalah pada pilihan kedua, betapa pun tetap ada kemungkinan dakwah itu akan ditolak oleh kaum elit, sebagaimana bangsa Madyan telah menolak dakwah Nabi Syu’aib 'alaihissalam. Dan jika dakwah itu ditolak, maka takutlah dengan ancaman Allah di dalam firman-Nya berikut ini (artinya),
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra’: 16)
Orang-orang yang hidup mewah di negeri ini pada umumnya adalah kaum elit, kaum sekular.
Wallahua’lam