Jumat, 17 September 2010

Tragedi WTC 11/9 dan Perang Afghanistan (II)

Kronologis Perang Afghanistan adalah sebagaimana yang diuraikan oleh Prof. Marc W. Herold dalam suatu kuliah umum di Institut Teknologi Massachussetts (MIT) pada Agustus 2010 (situs Global Research, The American Occupation of Afghanistan and the Birth of a National Liberation Movement).

  • Taliban memasuki Kabul pada 27 September 1996 dengan dukungan kuat dinas intelijen Pakistan (Inter Services Intelligence, ISI), mewarisi sebuah negeri yang hancur dan terkoyak-koyak akibat perang di antara faksi mujahidin selama enam tahun setelah Uni Soviet keluar dari Afghanistan.
  • Usamah bin Ladin beserta 180 orang pengikutnya tiba di Afghanistan pada Mei 1996 setelah diminta keluar dari Sudan atas tekanan Amerika. Pada awalnya Usamah menetap di wilayah Jalalabad, di luar wilayah kekuasaan Taliban. Akan tetapi, pada September 1996 setelah Taliban menguasai ibu kota Kabul dan mengendalikan sebagian besar negeri, Usamah bin Ladin menjadi tamu Taliban.
  • Setelah merasa aman di tempat barunya, Usamah mulai berbicara tentang penyerangan terhadap target-target militer Barat di Semenanjung Arabia. Pada Agustus 1996 ia mengeluarkan fatwa tentang pendudukan ‘Amerika atas Negeri Dua Kota Suci.’ Di antara buah dari fatwa itu adalah penyerangan terhadap kedubes Amerika di Afrika Timur pada 1998.
  • Pada 11 September 2001 terjadi Tragedi WTC. Ini lalu dijadikan kaum neo-konservatif Amerika sebagai dalih dan starting point guna menerapkan agenda neo-konservatif’Project for a New American Century’ (PNAC); hegemoni unilateral Amerika atas dunia. Usulan kompromi oleh Taliban tidak digubris, dan serangan udara dimulai pada Oktober 2001.
  • Serangan udara Amerika pada Oktober-November-Desember 2001 telah menewaskan kira-kira 3000 orang warga sipil Afghanistan dan menghancurkan infrastruktur di seluruh pedesaan Afghanistan. Rakyat Afghanistan mulai merasakan bahwa pasukan asing bermaksud meneror negeri mereka.
  • Terjadi pertempuran yang menentukan di bagian utara Afghanistan selama Oktober-November 2001 antara Amerika dan Taliban dengan tingkat kecanggihan teknologi masing-masing pihak yang sangat tidak sebanding. Taliban dengan cepat kehilangan wilayah kekuasaannya. Mullah Umar mundur ke pegunungan di sebelah utara Kandahar pada 8 Desember 2001, sementara Usamah bin Ladin beserta kelompoknya bergerak ke pegunungan Tora Bora dan menghilang. Kemenangan yang cepat Amerika atas Taliban membutakan mata para pemimpin Amerika, yang pada akhirnya secara perlahan-lahan memberikan jalan bagi kekalahan Amerika.
  • Secara perlahan-lahan Taliban mulai mengorganisir diri dan aktif kembali pada 2002-2004. Taliban segera melancarkan perang asimetri dengan modal utama bom yang ditanam di jalan-jalan dan pengebom bunuh diri. Menjelang 2004, dapat disebut sebagai “Kembalinya Taliban” dengan tujuan membebaskan Afghanistan dari penjajahan asing. Gerakan ini akhirnya menjadi gerakan pembebasan nasional Afghanistan.

Cara-cara yang digunakan pasukan Amerika di Afghanistan telah mempercepat tumbuhnya gerakan perlawanan nasional rakyat Afghanistan terhadap tentara pendudukan, di antaranya: (1) pelanggaran terhadap kesucian rumah penduduk Afghanistan oleh operasi-operasi “cari dan hancurkan” pasukan darat Amerika; (2) secara terbuka menghina Al-Qur’an; (3) perlakuan yang menghinakan terhadap kaum wanita Afghanistan; (4) menahan dan menyiksa anggota-anggota keluarga Afghanistan; (5) operasi-operasi pembunuhan rahasia oleh pasukan khusus Amerika; (6) banyaknya warga sipil yang menjadi korban, dan secara sistematis memberi mereka label “gerilyawan” atau “Taliban.”

Secara perlahan tapi pasti, situasi di Afghanistan mengulangi situasi pada era Perang Vietnam. Bertambahnya korban sipil warga Afghanistan semakin meningkatkan kemarahan dan perlawanan warga Afghanistan terhadap pasukan pendudukan, dan selanjutnya semakin menambah jumlah pasukan perlawanan Afghanistan (setiap satu korban warga sipil akan menambah jumlah gerilyawan menjadi tiga orang), lalu serangan terhadap pasukan pendudukan menjadi semakin gencar, dan jumlah korban tentara pendudukan pun semakin bertambah. Semakin tingginya korban di pihak pasukan pendudukan membuat semakin meningkatnya penolakan warga negara pasukan pendudukan terhadap keterlibatan negara mereka di Perang Afghanistan.

Di lain pihak, jika tentara pendudukan ditambah jumlahnya, ini akan semakin menambah jumlah korban warga sipil, lalu siklus di atas akan terus berlanjut. Pasukan pendudukan ini selalu keliru dalam menentukan target operasinya; warga sipil selalu menjadi korban. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Penjelasannya dapat ditemukan dalam suatu analisis terhadap Perang Afghanistan yang diberikan oleh Jend. (purn.) Hamid Gul, mantan kepala dinas intelejen Pakistan, ISI, pada periode 1987-1989 dalam suatu wawancara oleh Guns and Butter melalui Radio KPFA pada 8 September 2010 yang diberi judul, “Why America Cannot Win In Afghanistan” (Mengapa Amerika Tidak Dapat Memenangkan Perang di Afghanistan). Pemahamannya terhadap Perang Afghanistan sangatlah komprehensif dan mendalam, sehingga ia pun tidak ragu menantang para petinggi militer Amerika untuk menyanggah analisisnya. Akan tetapi, dalam kesempatan ini kami hanya ingin mengutip penjelasannya untuk menjawab pertanyaan di atas.

Kesulitan bagi setiap agresor yang hendak menduduki Afghanistan adalah pada luasnya wilayah negara itu, jauhnya jarak di antara kota-kotanya, serta kondisi geografisnya yang sangat sulit dijejaki. Padahal, jalur komunikasi darat, baik ke dalam maupun keluar Afghanistan, sangatlah memegang peranan dalam keberlanjutan pendudukan Afghanistan oleh pasukan asing. Akan tetapi, justru inilah yang tidak dimiliki pasukan pendudukan Amerika/NATO. Jalur komunikasi mereka jauh dari aman. Setiap suplai logistik yang dikirim dari luar Afghanistan melalui jalur darat selalu berada dalam bayang-bayang penyergapan para gerilyawan. Pasukan pendudukan juga tidak memiliki sekutu di antara rakyat Afghanistan (suku Pashtun) yang dapat mengamankan jalur komunikasi daratnya.

Tiadanya simpati dari rakyat Afghanistan dalam perang ini karena mereka merasa telah dizalimi; mereka harus menanggung akibat dari suatu perbuatan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan mereka. Oleh karena itu pasukan pendudukan kesulitan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan terpercaya bagi operasi-operasi militernya, dan lebih mengandalkan pada sadapan-sadapan elektronik melalui satelit mata-mata dan piranti elektronik lainnya. Walhasil, setiap informasi yang diperoleh sama sekali tidak dapat diandalkan; setiap kali operasi militer dilakukan atas dasar sebuah informasi, selalu berbuah blunder.

Setelah membuat padanan antara Perang Afghanistan kali ini dengan Perang Vietnam, Jendral Hamid Gul berkesimpulan, seandainya pasukan pendudukan Amerika/NATO meningkatkan jumlah tentaranya menjadi sepuluh kali lipat, mereka juga tidak akan dapat mengalahkan Taliban! Ia juga tak lupa menyatakan, bahwa saat ini telah berdatangan para mujahidin dari segenap penjuru negeri-negeri Muslim untuk memerangi pasukan pendudukan Amerika/NATO.

Pengamatannya bahwa para mujahidin telah berdatangan kembali dari segenap negeri-negeri Muslim selaras dengan laporan kantor berita Al-Jazeera pada 7 Januari 2010 berjudul, “Taliban groups continue to grow” (Kelompok Taliban Terus Bertumbuh). Dilaporkan bahwa para mujahidin yang menyebut dirinya “salafi” berdatangan ke Afghanistan untuk melawan tentara pendudukan Amerika/NATO. Ternyata para salafiyun itu telah kembali ke medan jihad! Dengan rendah hati mereka mengatakan, bahwa mereka berjuang di bawah komando Taliban Afghanistan, sebagai penghormatan kepada tuan rumah.

Barangkali tidak banyak di antara kaum Muslimin yang melihat kedatangan para salafiyyun itu sebagai suatu tanda dari langit, bahwa Perang Afghanistan insya Allah tak lama lagi akan usai dengan keluarnya pasukan pendudukan secara sangat terhina. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda (artinya),

"Akan datang kepada manusia suatu zaman yang ketika itu ada sekelompok orang yang berperang lalu orang-orang bertanya kepada mereka; "Apakah di antara kalian ada orang yang bersahabat (mendampingi) dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?". Kelompok itu menjawab; "Ya, ada". Maka mereka diberi kemenangan. Kemudian akan datang lagi kepada manusia suatu zaman yang ketika itu ada sekelompok orang yang berperang lalu ditanyakan kepada mereka; "Apakah di antara kalian ada orang yang bershahabat dengan shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?". Mereka menjawab; "Ya, ada". Maka mereka diberi kemenangan. Kemudian akan datang lagi kepada manusia suatu zaman yang ketika itu ada sekelompok orang yang berperang lalu ditanyakan kepada mereka; "Apakah di antara kalian ada orang yang bershahabat dengan orang yang bershahabat dengan shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?". Mereka menjawab; "Ya, ada". Maka mereka diberi kemenangan". (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudriy)

Para salafiyyun itu adalah orang-orang yang mendasarkan pemahaman agamanya dengan mengikuti pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jadi, pada hakekatnya, mereka bersahabat dengan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mulia itu. Maka mereka berhak atas pertolongan Allah! Insya Allah kemenangan akan diraih dalam waktu yang tak terlalu lama lagi.

Maka herankah kita dengan berita-berita semacam yang berikut ini?

Harian Telegraph, Inggris, tertanggal 2 Agustus 2010 memuat berita berjudul, “Afghanistan is an unwinnable war, and our leaders know it” (Afghanistan adalah perang yang tak dapat dimenangkan, dan para pemimpin kita mengetahuinya).

Harian Toronto Sun yang terbit di Kanada memuat berita pada 14 September berjudul, “Bombshell from London” (Kejutan dari London). Diberitakan bahwa organisasi kelompok para pemikir yang terkenal, International Institute for Strategic Studies (IISS) telah membuat laporan yang eksplosif, yang mengguncangkan Amerika dan sekutu NATOnya. Laporan itu menyebutkan bahwa misi yang dipimpin Amerika di Afghanistan itu telah digelembungkan secara tidak proporsional dari misi semula, yaitu mengalahkan Al-Qaida. Perang tersebut, dengan menggunakan kalimat yang telanjang, merupakan “malapetaka yang berkepanjangan.”

Harian tersebut mengakhiri laporannya dengan kalimat, “Kebenaran mengenai Irak dan Afghanistan akhirnya muncul. Afghanistan mungkin akan terbukti lagi sebagai ‘kuburan para imperium.’”



Wallahua’lam