Tentu kita semua telah mengetahui ihwal runtuhnya Jembatan Kukar di Tenggarong, Kalimantan Timur. Penjelasan mengenai penyebab runtuhnya jembatan tersebut pun telah diberikan oleh sebuah “kesebelasan” yang beranggotakan para ahli, sebagiannya berderajat profesor, dari sejumlah perguruan tinggi terkemuka dan institusi profesional yang terkait. Sejauh ini tidak ada suara “sumbang” yang terdengar dari kalangan profesional maupun masyarakat umum akan penjelasan dari “kesebelasan” para ahli tersebut. Bagaimana akan ada suara sumbang jika semua kepentingan telah ditampung di dalam kesebelasan tersebut?
Akan tetapi, jika seseorang jeli, ia akan melihat bahwa penjelasan yang diberikan oleh para ahli tersebut, melalui Prof. Iswandi Imran yang mengenakan “ban kapten,” sangat tidak meyakinkan. Terdapat sebuah lubang besar dalam penjelasan itu, yaitu bahwa penjelasan tersebut hanya bersifat kualitatif dan hanya merupakan kompilasi pendapat para anggota tim tersebut. Penjelasan yang bersifat kualitatif akan dianggap memadai jika alasan-alasan yang disampaikan memang memberikan pembeda yang sangat signifikan terhadap proses keruntuhan jembatan tersebut dibandingkan jika alasan-alasan tersebut tidak muncul.
Akan tetapi, jika seseorang, siapa pun dia, dapat memberikan penjelasan lain yang juga bersifat kualitatif, namun secara meyakinkan dipercaya dapat memberikan dampak yang jauh lebih signifikan terhadap proses keruntuhan jembatan tersebut dibandingkan alasan pertama, maka penjelasan kualitatif pertama otomatis gugur! Inilah yang kami lakukan; kami telah menemukan pencetus sebenarnya dari keruntuhan jembatan tersebut.
Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya),
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.“(QS. An-Nahl: 93)
Jika para ahli itu telah gagal dalam menemukan pencetus/penyebab sebenarnya dari keruntuhan jembatan tersebut, bagaimana mungkin mereka akan mampu mengetahui hikmah dari peristiwa tersebut? Dan harapan Menteri PU untuk dapat menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran tentu saja tidak akan terpenuhi.
Jika mereka tidak mendapatkan pembelajaran apa pun dari musibah ini, maka bagaimana mereka dapat merasa yakin bahwa proyek-proyek semacam Jembatan Selat Sunda, PLTN, serta proyek-proyek raksasa lainnya, tidak akan bernasib sama seperti halnya Jembatan Kukar?
Sesungguhnyalah, dipecundanginya sebuah kesebelasan ahli tenik sipil sekuler oleh seorang ahli-Sunnah yang bahkan bukan seorang insinyur sipil, adalah di antara bentuk-bentuk penghinaan Allah yang paling jelas kepada sekularisme, dan pembelaan-Nya kepada Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihiwasallam, sekaligus sebagai bagian dari serangkaian peringatan nyata yang telah diturunkan-Nya tanpa putus kepada segenap penduduk negeri ini sejak beberapa waktu yang lalu, sebagai perwujudan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya),
“Katakanlah: ‘Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).’"(QS. Al-An’am: 65)
Persoalannya tinggal: seberapa dekat kita dengan batasan waktu bagi terwujudnya firman Allah berikut ini (artinya)?
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra’: 16)
Wallahua’lam
Catatan: Untuk melihat sampel, klik gambar buku "Runtuhnya Jembatan Kukar; Koreksi untuk Tim Ahli" pada bagian Jual Buku di sebelah kanan blog ini.