Jumat, 17 Juni 2011

Nasionalisme adalah sebuah Agama Sekuler!




Dalam beberapa minggu terakhir ini kita telah menyaksikan diskusi di seputar penolakan sejumlah sekolah terhadap upacara bendera, demikian pula penolakan sebuah stasiun radio terhadap pemutaran lagu kebangsaan, ditampilkan di banyak media massa lokal maupun nasional. Sangat disayangkan, diskusi seringkali mengerucut pada pembahasan apakah hormat kepada bendera merupakan perbuatan syirik. Diskusi yang demikian benar-benar telah menggelincirkan orang dari melihat permasalahan secara lebih hakiki dan menyeluruh.

Sesungguhnya penghormatan kepada bendera nasional serta menyanyikan lagu kebangsaan hanyalah segelintir di antara permasalahan di seputar nasionalisme! Jika seseorang lebih teliti, maka ia akan menemukan banyak persoalan lainnya, misalnya pada lambang-lambang dan slogan-slogan nasional, penghormatan (baca: pengkultusan) kepada para pahlawan nasional melalui pembuatan gambar-gambar dan patung-patungnya, upacara di pekuburan (baca: taman makam pahlawan), penetapan hari-hari besar nasional, dan lain sebagainya. Maka sebenarnya yang layak untuk didiskusikan adalah nasionalisme itu sendiri!

Bagaimana Selayaknya Kita Memandang Nasionalisme?

Guna memahami nasionalisme, kami akan menampilkan pandangan seorang ahli sosiologi agama yang bukunya telah menjadi rujukan bagi para mahasiswa sosiologi di negeri kita ini, bahkan telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Elizabeth K. Nottingham (Agama dan Masyarakat; Suatu pengantar Sosiologi Agama, CV Rajawali, 1985, hal. 26-27) menuturkan, “Agama-agama tradisional di dunia, yaitu Budha, Yahudi, Kristen, Hindu, dan Islam, dengan penekanan mereka pada yang sakral dan nilai-nilai di luar dunia ini, semuanya adalah agama-agama supernatural (gaib). Akan tetapi terdapat pergerakan-pergerakan yang kuat di dunia modern yang tidak menekankan supernaturalisme, namun memiliki sebagian besar ciri-ciri agama. Pergerakan-pergerakan ini mempunyai kepercayaan dan upacara-upacara (peribadatan) keagamaan, simbolisme, dan kelompok-kelompok pemeluk yang taat dan yang diikat oleh nilai-nilai moral bersama. Tentu saja kami akan menunjuk pergerakan-pergerakan besar di dunia seperti nasionalisme, sosialisme, fasisme, dan komunisme….Karena nilai-nilai supernatural (gaib) tidak ada, apakah kita harus mengeluarkan gerakan-gerakan semacam ini dari kategori agama-agama? Sementara pengkaji yang berpendapat bahwa yang gaib itu merupakan inti agama, akan menjawab ya. Pengarang (Nottingham) yang telah menerima kategori (pengertian) yang lebih inklusif tentang sakral, lebih suka menggolongkan gerakan-gerakan semacam ini sebagai agama-agama nonsupernatural atau agama-agama sekuler.”

Pandangan Nottingham tersebut mendapat pengukuhan dari George M. Marsden, ahli sosiologi agama Amerika terkemuka lainnya. Marsden menulis (Agama dan Budaya Amerika, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 65), “Pada akhirnya, Amerika Serikat adalah negara modern pertama yang secara sistematis mengalihkan pemujaan pemerintah secara resmi dari pemujaan terhadap pribadi menuju ke pemujaan terhadap bangsa dan prinsip-prinsipnya. Segera Amerika Serikat menyusun serangkaian upacara-upacara dan perlambang yang mirip sekali dengan perlambang-perlambang dan upacara-upacara tradisional Kristen, tetapi bangsa itu sendiri menjadi sasaran ibadat tersebut. Bendera (sebagaimana salib dalam gereja-gereja Katolik) menjadi satu barang suci. Peraturan-peraturan rumit disusun orang mengenai kapan dan bagaimana bendera itu harus dipegang. Sumpah kepada bendera konon memainkan peran membuat tanda salib dalam sebuah gereja. Orang bersumpah pada sebuah kredo. Bangsa itu menciptakan hari-hari suci dan santo-santo miliknya sendiri. George Washington, misalnya, segera mendapat sifat-sifat mistis. Arsitektur nasional dan tempat-tempat ziarah merupakan pusat-pusat peziarahan dan ibadah…”

Kini mengertilah kita, bahwa paham semacam nasionalisme memang diciptakan untuk menjadi sebuah agama. Di dalam agama nasionalisme, tuhannya adalah “Ibu Pertiwi” lengkap dengan seperangkat ritual peribadatannya.

Fitnah Agama Nasionalisme

Di dalam kerancuan pemahaman kaum Muslimin tentang nasionalisme, syaitan yang terkutuk itu pun berupaya mengail di air keruh. Perhatikanlah, misalnya, reportase seorang wartawan Kompas berjudul “Telanjang di Lereng Gunung Merapi” 15 Januari 2005 berikut ini, “Bencana tsunami tiba-tiba menguakkan bahwa Bumi ini sungguh suatu misteri. Bumi tempat manusia berpijak ternyata tak sekokoh seperti biasa dibayangkan. Bumi adalah planet yang senantiasa gelisah, bergerak, dan mudah terbelah di dasarnya.

Sewaktu-waktu, misteri kegelisahan di perut Bumi bisa menancam lagi. Kali ini wujudnya bencana tsunami. Lain kali, entah apa lagi. Pendeknya tsunami ini sungguh mengingatkan manusia untuk mawas diri. Pesan ini ternyata juga sampai pada manusia-manusia sederhana di lereng Gunung Merapi.

…Karena alasan tersebut, sebagian penduduk Candi Tengah memutuskan untuk mengadakan upacara ritual mohon keselamatan. Ritual tersebut dijatuhkan persis di saat pergantian tahun 2004 ke 2005.

…Malam itu Mbah Niti masuk ke kalangan dengan naik kuda lumping dan berpakaian raja. Lebih dari satu jam ia menari-nari dan berperang-perangan dengan pasangannya. Ia tampak gagah walau tubuhnya sudah renta. Tiba-tiba ia mengejang. Sebelum ia rebah, orang-orang datang menyangganya. Mbah Niti ndadi, trance. Inilah saat di mana penguasa keraton Merapi menyusup masuk ke dalam dirinya.

Mbah Niti dituntun masuk ke rumah. Ia duduk seperti raja. Mbah Prawiro bertanya, siapa gerangan Paduka? Mbah Niti menjawab bahwa ia adalah Mbah Petruk, yang menguasai Gunug Merapi. Lalu, dengan penuh wibawa, Mbah Petruk menyapa anak-anaknya dan memberikan wejangan.

Ia bilang, sekarang banyak bencana terjadi sebab zaman wis teka titi wanci tuwa (zaman sudah sampai pada usianya yang tua). Zaman sudah tua, Bumi sudah rapuh, wajar jika di mana-mana lalu meledak bencana. Pada zaman seperti ini, manusia harus sering meminta kepada Bapa Allah dan Ibu Pertiwi karena mereka berdua inilah yang memapankan raga kita, meluruskan pikiran kita, dan menghidupi kita sehari-hari…..”

Demikianlah, dari istilah “Ibu Pertiwi” di dalam agama nasionalisme yang semula mungkin tidak dimaksudkan terlalu dalam, di tangan syaitan yang terkutuk itu ia berubah menjadi senjata yang sangat mematikan. Entah sudah berapa banyak penduduk negeri ini yang terfitnah karena kepercayaan kepada “Ibu Pertiwi” ini. Na’udzubillahi min dzalik. Dan sudah dapat dipastikan, syaitan yang terkutuk itu akan senantiasa berupaya mengeksploitasi segenap celah (baca: bid’ah) yang muncul dari pelaksanaan ritual-ritual di dalam agama nasionalisme ini guna menyesatkan kaum Muslimin.

Islam Menutup Semua Pintu Menuju Fitnah

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (artinya),

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 100)

dan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda (artinya),

“’Kelak kalian akan mengikuti ajaran orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke dalam liang biawak pun kalian pasti akan mengikuti mereka.’ Kami, para sahabat bertanya, “’Ya Rasulullah, apakah yang kami ikuti itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani?’ Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Siapa lagi kalau bukan mereka.’” (HR. Muslim dari Abu Said Al-Khudri)

Inilah di antara peringatan yang datang dari Allah dan Rasul-Nya untuk bersikap hati-hati dengan menjauhi dan mengingkari segenap sistem nilai yang berasal dari orang-orang di luar kaum Muslimin. Sedemikian ketatnya agama Islam dalam menjaga perilaku kaum Muslimin sampai hal-hal seperti berikut ini:

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

“Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu` maka perbaguslah wudhu`nya, kemudian dengan bersengaja menuju ke masjid, dan janganlah dia menyilangkan jari-jemarinya karena sesungguhnya dia berada dalam keadaan shalat. (HR. Abu Dawud dari Ka'ab bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu)

Nampaknya larangan ini bertujuan agar tidak ada tindakan yang dapat diasosiasikan dengan suatu ritual di dalam agama-agama lain. Wallahua’lam.

Seorang Muslim tidak boleh memberikan sebagian dari hatinya sebagai tempat bagi agama selain Islam, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (artinya),

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 19)
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran: 85)

“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali ‘Imran: 102)

Maka menjadi kewajiban bagi kaum Muslimin untuk senantiasa berupaya memurnikan ketaatannya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya saja.

Lalu kita mendengar ada orang-orang yang mengatakan, kalau seseorang menolak menggunakan tata cara yang berasal dari Barat itu, maka janganlah menggunakan segenap produk teknologi, jangan juga belajar Bahasa Inggris! Bukankah sebagian besar dari produk-produk budaya itu datang dari Barat? Inilah di antara argumentasi yang sering digunakan para ahli bid’ah untuk membenarkan perbuatan bid’ahnya itu. Seperti yang sudah kami sampaikan terdahulu, bahwa yang perlu dijauhi itu adalah budaya yang mengandung muatan sistem nilai, utamanya agama! Pada produk-produk seperti komputer, mobil, pesawat terbang, dan lain sebagainya, bahkan Bahasa Inggris, maka kitalah yang memberi muatan di dalamnya. Terserah kita, akan digunakan untuk apa komputer itu; kita dapat memanfaatkannya untuk membuat tulisan-tulisan guna membantah para ahli bid’ah; kita mempelajari Bahasa Inggris agar kita dapat memahami apa yang terlintas di kepala orang-orang Barat itu sehingga kita dapat mengambil sikap proaktif, dan lain sebagainya. Tetapi menghormati bendera? Sudah dijelaskan oleh ahli sosiologi Amerika yang kami kutip di atas, bahwa itu adalah sebuah ritual dari sebuah agama yang diciptakan kaum sekuler Amerika untuk menandingi bahkan mengenyahkan agama Kristen dari segenap organ pemerintah Amerika! Konsekuensinya, jika kaum Muslimin meresapi dan mempraktekkan ritual-ritual itu secara rutin, dengan berjalannya waktu, niscaya akan semakin berkurang kecintaan mereka kepada agama Islam, khususnya kepada Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam!

Jika para pemangku kekuasan di negeri ini memang bertekad untuk mengadopsi agama nasionalisme dan menerapkan segenap ritualnya bagi organ-organ yang berada di bawah kekuasaannya, maka itu menjadi tanggung jawab mereka sendiri di hadapan Allah kelak. Akan tetapi, memaksakan sistem nilai ini kepada institusi-institusi di luar pemerintahan, yang tidak sepeser pun pemerintah mempunyai andil di dalamnya, jelas sudah tidak proporsional. Janganlah menawarkan, konon lagi memaksakan, kepada kaum Muslimin sesuatu yang nilainya lebih rendah dari yang telah mereka miliki, yang akan merusak ketenangan mereka, sedangkan mereka bukanlah orang-orang yang suka membuat kerusakan.

Ketimbang melakukan tindakan-tindakan yang kontra-produktif seperti itu, kami mengusulkan agar para pemangku kekuasaan di negeri ini mencoba menjawab soal-soal semacam berikut ini: Bagaimana mengatasi persoalan utang yang membelit negeri ini senilai lebih dari Rp. 1800 trilyun, di saat sistem moneter dunia ambruk, lalu orang-orang Jepang yang keadaannya juga di antara hidup dan mati muncul di pintu-pintu kantor kalian, mengatakan, “Bayar utangmu atau Pulau Natuna untuk kami”?

Akhirnya, ketaatan dan kesabaran itu selalu berbuah manis. Pada hari ini kita telah menyaksikan agama komunisme dikalahkan. Maka, mengapa ada orang yang tidak percaya bahwa Allah akan mengalahkan agama-agama lainnya dan memenangkan agama Islam saja? Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (artinya),

“Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At-Taubah: 33)

Wallahua’lam