Jumat, 27 Agustus 2010

Memasang "Firewall"

Depresi Besar yang dimulai pada 1929 dan baru berakhir setelah dimulainya Perang Dunia II pada 1939, benar-benar merupakan periode yang sangat traumatis bagi bangsa Amerika. Itulah sebabnya mereka berusaha agar peristiwa tesebut tidak terulang lagi.


Ketika Depresi Besar tengah berlangsung, anggota legislatif Amerika membentuk sebuah komisi guna menyelidiki sebab-sebab timbulnya musibah tersebut. Salah satu di antara penyebabnya adalah karena perilaku spekulatif yang justru dimotori oleh bank-bank raksasa, yang tidak dapat memisahkan dirinya antara sebagai bank dan sebagai broker. Mereka menggunakan dana-dana milik nasabahnya untuk berspekulasi pada bisnis-bisnis yang ketika itu tengah booming, yang tercermin dari indeks bursa saham Wall Street yang terus melonjak. Maka ketika terjadi crash di bursa saham, para broker saham itu mengalami kerugian besar, lalu bangkrut, dan sekaligus melenyapkan uang milik para deposannya.


Menilik peran bank dalam investasi spekulatif ini, maka pada 1933 Senator Carter Glass dan anggota Kongres Henry B. Steagall menyeponsori dibuatnya suatu peraturan yang dikenal sebagai Glass-Steagall Act. Pada intinya peraturan tersebut hendak memisahkan secara tegas antara bank komersial yang berfungsi sebagai penyedia kredit pada perorangan atau perusahaan-perusahaan yang membutuhkan pendanaan, dan bank investasi yang biasa bermain dalam investasi spekulatif. Bank komersial tidak diperbolehkan melakukan investasi spekulatif. Selain itu juga dibentuk Federal Deposit Insurance Corporation, lembaga penjamin simpanan, guna menjamin simpanan para deposan di bank-bank. Sejak saat itu bank-bank di Amerika beroperasi dalam koridor peraturan yang ketat.


Akan tetapi, perbuatan batil semacam riba dan perjudian itu selalu mencari jalannya sendiri untuk menuju kehancuran. Bank-bank raksasa di Amerika merasa gerak-gerik mereka dikendalikan terlalu ketat. Mereka secara terus-menerus menyuarakan perlunya meninjau kembali Glass-Steagall Act, karena menganggapnya sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Pada dasarnya, inti dari tuntutan mereka adalah ketamakan! Mereka terhalang dari upaya untuk meraup keuntungan yang lebih besar. Akhirnya kepentingan para bank raksasa itu mulai mendapatkan jalannya sejak masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan; proses deregulasi pada sektor keuangan Amerika dimulai pada 1980. Dengan kekuatan lobby, menurut sejumlah pengamat senilai $300 juta, mereka berhasil mempengaruhi badan legislatif Amerika untuk mengakhiri Glass-Steagall Act. pada November 1999 dan menggantinya dengan Gramm-Leach-Bliley Act.


Melalui peraturan baru ini tidak lagi dipisahkan antara bank komersial dan bank investasi, melainkan dibuat suatu klasifikasi baru “financial holding company” dengan keleluasaan untuk melakukan penjaminan dan menjual asuransi serta surat-surat berharga (sekuritas), beroperasi sebagai bank komersial dan bank investasi, berinvestasi di dalam industri real estate, dan lain sebagainya.


Mudah diduga, penyakit yang pernah menjangkiti Amerika pada 1929 kambuh lagi, tetapi dengan daya rusak yang jauh lebih mengerikan. Financial holding companies itu segera memanfaatkan dana milik deposannya pada sisi bank komersialnya untuk mendanai bisnis spekulatifnya pada sisi bank investasinya. Lalu mereka mendapat peluang untuk berspekulasi tak lama setelah itu; tidak terlalu lama bagi holding companies itu telah menunjukkan sosok aslinya, sebagai mesin casino raksasa.


Mesin-mesin casino raksasa itu mendapatkan “peluangnya” untuk mengeruk keuntungan pada suatu periode di mana bertemu sejumlah kepentingan. Pada 2000, Amerika mengalami resesi yang disebabkan oleh rontoknya perusahaan-perusahaan teknologi berbasis dot.com, lalu berlanjut dengan peristiwa WTC 11 September 2001. Guna menggairahkan kembali perekonomiannya yang melesu, bank sentral Amerika menurunkan suku bunganya dari 6,5% hingga ke tingkat 1% dalam periode 2000 hingga 2003. Dalam situasi ini, di satu sisi terdapat kepentingan pemerintah Amerika agar rakyatnya yang berpenghasilan rendah juga dapat memiliki rumah. Di sisi lain terdapat dana-dana milik para investor yang selalu berkeliling dunia mencari tempat singgah yang menguntungkan, yang lebih menarik dari sekedar imbalan yang ditawarkan surat-surat utang pemerintah. Lalu ada bank investasi semacam Lehman Brothers yang berusaha menghubungkan sejumlah kepentingan ini dalam suatu lapangan permainan yang sama.


Dengan bunga yang sedemikian rendah, bermunculanlah proyek-proyek perumahan (real-estate) di seluruh Amerika. Rupanya KPR yang murah karena berbunga rendah telah menyebabkan meningkatnya jumlah permintaan akan rumah sekaligus meningkatkan nilai rumah-rumah tersebut. Sementara itu, bank-bank juga telah membuat persyaratan untuk mendapatkan KPR menjadi sangat mudah. Di antaranya adalah adjustable-rate mortgage (ARM), yaitu pemilik rumah membayar bunga KPR yang bervariasi, sesuai tingkat bunga yang berlaku. Di antara variasi dari ARM adalah cukup membayar bunga pinjaman saja para periode awal. Pada sejumlah kasus, calon penerima KPR bahkan tidak perlu menunjukkan bukti kemampuan pendanaan, melainkan cukup dengan membuat “pernyataan” saja. Maka kegilaan untuk mendapatkan rumah pun semakin menjadi-jadi. Orang-orang membeli rumah tidak hanya untuk dihuni tetapi juga sebagai suatu spekulasi; mereka mengira nilai asset mereka akan terus bertambah, tak pernah terpikirkan bahwa harga rumah juga dapat meluncur turun. Pada akhir 2006, jumlah pemilik KPR versi ARM ini telah melewati 60% dari total pemilik KPR.


Akan tetapi, tentu saja bukan tanpa alasan bank-bank itu menawarkan KPR dengan sedemikian mudah. Pada kenyataanya, bank-bank tersebut telah menciptakan model-model KPR baru, di mana, berdasarkan asumsi model statistik yang mereka susun, resiko memberikan KPR dengan persyaratan minimal itu tidak akan membahayakan jika transaksi-transaksi itu dipaket antara yang berkualitas baik dan kurang baik, lalu disebar ke seluruh dunia! Jadi, transaksi-transaksi KPR itu mereka paket, lalu mereka jual kepada perusahaan-perusahaan asuransi, lembaga-lembaga keuangan, dan para investor di seluruh dunia! Produk ini disebut mortgage-backed securities (MBS). Bagaimana para investor di seluruh dunia akan menolak penawaran ini, ketika keuntungan yang ditawarkan lebih tinggi daripada imbalan dari surat-surat utang pemerintah, sementara rating agencies juga telah menyatakan penawaran tersebut aman? Untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan default-nya MBS, maka para investor itu membeli suatu instrumen keuangan yang disebut credit default swap (CDS) dari perusahaan asuransi. Jika terjadi default pada MBS, maka perusahaan asuransi yang akan memberikan kompensasi. Celakanya, instrumen ini juga sekaligus menjadi alat untuk berspekulasi.


Lalu pada 2005 sejumlah pengamat sudah memperingatkan bahwa jumlah rumah yang telah selesai dan sedang dibangun sudah jauh melampaui kebutuhan. Di sisi lain, guna memerangi ancaman inflasi, bank sentral Amerika mulai menaikkan suku bunga secara signifikan antara Juli 2004 hingga Juli 2006, yang membuat KPR menjadi semakin mahal. Kedua fenomena ini semakin meyakinkan sejumlah pengamat, bahwa gelembung industri perumahan akan segera meletus. Benar saja! Permintaan mulai KPR melemah, mendatar, akhirnya menurun tajam pada pertengahan 2006. Gelembung pecah, harga rumah anjlok tajam!


Seperti sudah diduga, pemilik KPR versi ARM ini kesulitan untuk melanjutkan cicilannya karena tingkat bunga telah naik. Kegagalan dalam mencicil KPR berbuntut pada merosotnya pemasukan pada bank-bank, berlanjut hingga mengalami kerugian dan bahkan kebangkrutan, seperti yang dialami bank investasi Lehman Brothers. Kerugian tentu juga dialami oleh para investor di seluruh dunia yang membeli “paket-paket” MBS karena penurunan nilai KPR itu sendiri; kerugian juga dialami perusahaan-perusahaan asuransi yang menjamin CDS, tercermin dari runtuhnya nilai saham mereka dan nilai saham dari perusahaan-perusahaan lainnya yang berhubungan dengan aktivitas mereka di bursa-bursa saham di seluruh dunia.


Karena bank-bank mengalami kerugian, maka ia tidak dapat melakukan pinjaman sehingga dunia usaha menjadi macet, dan perekonomian menjadi mengerut, pengangguran secara perlahan-lahan merambat naik. Bank sentral Amerika berupaya membantu dengan menurunkan suku bunga hingga 0,25% dan pemerintah Amerika juga turun tangan dengan menalangi utang-utang bank-bank serta sejumlah perusahaan yang dianggap “too big to fail,” yaitu perusahaan-perusahaan yang kalau dibiarkan ambruk akan berdampak sangat negatif pada perekonomian Amerika. Semua itu dilakukan dengan utang, yang akan dibayar melalui tambahan pajak dari rakyat Amerika. Selain itu juga disusun sejumlah program stimulus ekonomi untuk membangkitkan kembali perekonomian negara itu serta aksi-aksi yang terkoordinir dari sejumlah negara besar di seluruh dunia.


Tokh semua itu tidak menolong! Bahkan calon korban selanjutnya adalah pemerintah Amerika itu sendiri yang telah membahayakan dirinya sendiri demi menyelamatkan sistem ekonomi kapitalis. Pada akhir 2010 diperkirakan utang “resmi” pemerintah Amerika, seperti yang terpampang pada sudut kanan atas blog ini, akan sebesar $13,6 trilyun. Akan tetapi, dalam suatu wawancara dengan Yahoo Finance pada 25 Agustus 2010, Laurence Kotlikoff, seorang profesor ekonomi dari Universitas Boston, telah menyatakan bahwa jika segenap kewajiban pemerintah Amerika dihitung berdasarkan nilai saat ini (present value), maka utang pemerintah Amerika yang sebenarnya adalah $202 trilyun. Hopeless!!!


Persoalannya adalah, saat ini dunia dilingkupi oleh transaksi-transaksi spekulatif yang nilainya menurut sebagian pengamat telah mencapai $600 trilyun. Jika sampai terjadi default pada pemerintah Amerika, dan insya Allah itu akan terjadi, maka dana-dana itu akan lenyap dari muka bumi dalam suatu reaksi berantai yang mengitari seluruh dunia. Kisah selanjutnya adalah tragedi kemanusiaan dalam dimensi yang belum pernah ditemukan padanannya di zaman modern ini.


Lenyapnya dana spekulatif senilai $600 trilyun adalah suatu kepastian, sepasti berlakunya firman Allah berikut ini (artinya),


“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)


“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)


“Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al Isra’: 81)


dan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah bersabda (artinya),



“Riba itu walaupun banyak, maka sesungguhnya akibatnya adalah menjadi sedikit.” (HR. Hakim dan Ibnu Majjah dari Ibnu Mas’ud)


Kini, di negeri Muslim ini, di Indonesia, terdapat begitu banyak orang yang tidak memahami apa yang tengah terjadi, bahkan para pemimpin mereka sekali pun. Nasihat kami, sebagaimana komputer-komputer yang terhubung ke jaringan internet dipasangi piranti lunak “firewall” guna mencegah masuknya virus-virus jahat yang akan merusak program-program komputer kita, maka kaum Muslimin juga harus memasang “firewall” guna mengamankan dana-dana yang mereka miliki. Apakah “firewall” itu? Kasur! Kasur? Ya, simpan uang di bawah kasur!


Maksud kami, selagi sempat tariklah semua uang dari bank-bank dan simpanlah di rumah, di tempat yang aman. Hal ini selaras dengan fatwa para ulama yang mengharamkan menyimpan uang di bank. Bahkan keleluasaan yang diberikan dalam fatwa para ulama bagi penyimpanan uang di bank karena mengkhawatirkan keamanan uang tersebut jika disimpan di rumah, telah menjadi tidak relevan, karena saat ini menyimpan uang di bank itu justru lebih berbahaya daripada menyiman uang di rumah, di bawah kasur!


Sebagian orang akan mengatakan, bukankah sekarang sudah ada Lembaga Penjamin Simpanan? Kami katakan, apakah mereka berani menjamin atas ancaman Allah seperti pada firman-Nya yang kami kutip di atas? Maka biarkanlah orang-orang yang ingkar itu merasakan kepahitan atas keyakinan mereka terhadap agama kapitalisme yang batil itu.


Akan tetapi, bagaimana jika uang itu terlalu banyak untuk disimpan di rumah? Perlu diketahui, pada akhirnya uang kertas yang tidak didukung oleh cadangan emas di Bank Indonesia itu akan berharga senilai kertas toilet (aneh sekali, ketika bank sentral Cina dan India membeli berton-ton emas milik IMF, pemerintah Indonesia justru meningkatkan iurannya, meningkatkan sahamnya di Bank Dunia, suatu institusi yang susah pasti akan lenyap!). Oleh karena itu, selagi sempat, seseorang dapat memanfaatkan uangnya yang banyak itu untuk beramal, yang akan menjadi alasan bagi Allah untuk menyelamatkan nya pada hari-hari ketika fitnah merajalela kelak.


Wallahua’lam

Jumat, 20 Agustus 2010

Kocar-kacir



Dalam dua posting berturut-turut kita telah membicarakan Eropa, kini waktunya untuk mengamati saudara seagama mereka yang berada di seberang Samudra Atlantik, Amerika Serikat. Sekarang kita mengetahui, berdasarkan data-data ekonomi-keuangan yang dikeluarkan lembaga-lembaga yang kredibel, bahwa progam stimulus ekonomi-keuangan yang dilancarkan pemerintah Amerika senilai US$800 milyar terbukti telah gagal untuk mengeluarkan Amerika dari kubangan resesi (sebagian pengamat menyebutnya Depresi). Ekonomi Amerika kembali melemah, dan bank sentralnya, The Fed, seperti telah kehabisan akal untuk menangani persoalan ekonomi-keuangan Amerika.


Krisis global yang dimulai pada September 2008 benar-benar telah membuat Amerika kocar-kacir. Kami tidak ingin menghabiskan halaman ini hanya untuk berkisah tentang kemalangan negeri “cowboy” tersebut. Jika seseorang ingin mengetahui perkembangan terkini situasi di Amerika, ia dapat merujuk laporan Global Research pada situsnya dengan judulNo Economic Recovery, 40 Statistics Confirm the Collapse of the U.S. Economy.”(Tidak Ada Pemulihan Ekonomi, 40 Angka Statistik Memastikan Runtuhnya Ekonomi Amerika)


Pada kesempatan ini kami ingin mengulas sebuah aspek yang agak khusus, di mana kita barangkali dapat belajar dari apa yang tengah terjadi di Amerika dan mempersiapkan diri; kami ingin membahas masalah keamanan dan keselamatan yang menjadi penopang utama keberlangsungan kehidupan masyarakat yang normal.


Marilah kita amati dampak krisis global terhadap keamanan dan keselamatan di Amerika, yang tercermin dari laporan tentang apa yang menimpa departemen kepolisian dan pemadam kebakaran di segenap kota-kota di Amerika, di mana mereka merupakan “korban” terakhir dari daftar korban di Amerika akibat krisis yang mereka mulai sendiri.


Berikut di antara laporan itu yang terjadi pada Juli 2010:


Galveston, Texas. Terjadi debat yang kisruh mengenai rencana pengurangan anggota polisi dan pemadam kebakaran guna mengatasi kesenjangan anggaran sebesar $5 juta.


Trenton, New Jersey. Walikota yang baru mempunyai rencana untuk mengurangi 475 pegawai kota praja. Dari jumlah tersebut 142 orang berasal dari departemen kepolisian dan 78 orang dari pemadam kebakaran. Rencana kota Trenton untuk merumahkan tenaga kepolisiannya telah mengkhawatirkan kota tetangganya Ewing. Kepala polisi kota Ewing telah menjelaskan kepada dewan kota bahwa pengurangan tenaga polisi di Trenton, termasuk pengurangan enam polisi di departemennya sendiri, akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan kepada kota-kota Ewing, Lawrence, dan Hamilton.


Oakland, California. Telah berlangsung negosiasi yang alot antara persatuan polisi dan walikota untuk mencapai persetujuan untuk mencegah pengurangan 80 dari 776 personilnya. Persatuan polisi meminta jaminan tidak akan ada pengurangan tenaga dimasa yang akan datang. Kepala polisi telah memperingatkan bahwa jika perumahan berlanjut, anggotanya tidak lagi akan menangani kriminalitas jenis tertentu, termasuk pencurian besar, penggarongan, perusakan mobil, pencurian identitas dan vandalism.


Canton, Illinois. Petugas pemadam kebakaran telah memperingatkan bahwa pemotongan anggaran oleh dewan kota akan memberikan resiko bagi kota tersebut, karena tidak ada lagi biaya untuk melatih tenaga pemadam kebakaran.


Malde, Massachussets. Persatuan petugas polisi telah menolak proposal kontrak kerja yang disusun guna menghindari pengurangan tenaga polisi. Walikota mengancam akan merumahkan 13-16 orang masing-masing dari departemen kepolisian dan pemadam kebakaran, kecuali jika mereka menerima kontrak yang menghilangkan biaya asuransi kesehatan anggotanya.


Fairlawn, New Jersey. Empat orang petugas polisi telah diberi surat pembebastugasan begitu tiba di kantornya pada hari Senin. Persatuan polisi telah menolak permintaan dari dewan kota agar menerima cuti 5 hari kerja (tanpa gaji), karena kata mereka, jika tenaga polisi dibebastugaskan akan membuat mereka yang sedang bertugas tidak mendapatkan backup.


Garfield, New Jersey. Persatuan polisi melakukan protes di balai kota, menentang rencana perumahan tujuh orang anggotanya. Mereka mengatakan bahwa pemerintah kota praja memiliki uang lebih banyak daripada yang disampaikan kepada publik. Walikota mengakui bahwa memang terdapat kelebihan uang, tetapi diperlukan untuk keadaan darurat.


Sapulpa, Oklahoma. Dewan kota praja menyetujui pemotongan anggaran bagi departemen pemadam kebakaran seperti kenaikan biaya asuransi, tidak mengisi lima posisi yang lowong, tidak membayar biaya pakaian seragam, dan menghapus biaya lembur pada hari libur. Walikota bahkan mengatakan, pemerintah kota praja masih perlu memotong anggaran sebesar $190.000 yang mungkin melalui pengrumahan empat orang anggota pemadam kebakaran lagi.


Grand Island, Nebraska. Kepala polisi mengumumkan pada13 Juli, bahwa persyaratan yang dibebankan kepada departemennya untuk mengurangi anggaran periode berikutnya sebesar $900.000 mengharuskannya menghapus posisi tujuh polisi patroli dan empat posisi lain di departemennya.


Redwood City, California. Dewan kota praja menyetujui pemotongan anggaran sebesar $6,1 juta, yang termasuk melepaskan kontrak perusahaan mesin pemadam kebakaran yang menghapus 35 posisi, termasuk 20 posisi yang saat ini kosong. Departemen kepolisian juga akan kehilangan 12 orang anggotanya, termasuk 6 posisi yang kosong, dan departemen pemadam kebakaran kehilangn duaa posisi.


Itulah di antara gambaran negeri yang kocar-kacir akibat utang yang menggunung, khususnya pada dampak yang menimpa departemen-departemen yang menangani keamanan dan keselamatan masyarakat. Perlu ditekankan di sini, bahwa situasi kocar-kacir ini berlangsung ketika tengah diberlakukannya program stimulus ekonomi. Padahal, setelah program stimulus ini berakhir, pemerintah Amerika hanya akan memusatkan pada program pengurangan defisit anggaran.


Memang telah terjadi silang pendapat tentang perlu tidaknya dilanjutkan program sitimulus ekonomi-keuangan ini. Paul Krugman, professor ekonomi di Universitas Princeton dan kolumnis harian the New York Times, pemenang hadiah Nobel di bidang ekonomi, adalah di antara ilmuwan Amerika yang paling kuat membela program stimulus. Di antara pertimbangannya adalah, tanpa program stimulus akan terjadi musibah kemanusiaan: kelaparan dan meningkatnya jumlah gelandangan serta kriminalitas. Sedangkan lawannya diwakili oleh Niall Ferguson, profesor sejarah dari Universitas Harvard dan Universitas Oxford yang membela program pengurangan defisit anggaran, yang berarti meniadakan program stimulus ekonomi, bahkan pemotongan anggaran di sana-sini. Tentu saja Ferguson merujuk pada sejarah, bahwa dengan tingkat utang Amerika yang telah mencapai breaking point, 90% dari PDB (didefinisikan oleh Reinhart dan Rogoff), sewaktu-waktu dapat terjadi default yang menyebabkan keruntuhan.


Akan tetapi, sebenarnya, keputusan antara perlunya program stimulus atau pengurangan defisit berada di tangan……pemerintah Cina! Agar diketahui, Cina adalah pemegang surat utang pemerintah Amerika yang terbesar, senilai hampir $1 trilyun. Jika program stimulus dilanjutkan berarti akan memperparah defisit anggaran, yang berarti menambah besar utang pemerintah Amerika, yang akhirnya akan memperbesar kemungkinan timbulnya masalah bagi pemegang surat utangnya. Cina tidak suka itu! Cina meminta agar pemerintah Amerika memperhatikan kepentingan para pemegang surat utangnya, dan pemerintah Amerika memahami apa arti perintah itu! Maka Amerika tak punya pilihan kecuali menghapus program stimulus dan memulai upaya pengurangan defisitnya.


Jadi, jika tanpa program stimulus apa jadinya negeri itu? Kacau balau! Bagaimana pula jika Amerika mengalami default, padahal default itu sesuatu yang diperkirakan akan terjadi juga? Huru-hara, kekacauan luar biasa menyebar ke seluruh dunia! Tidak ada harapan untuk pulih. Oleh karena itu, herankah kita ketika Paul B. Farrell, seorang kontributor pada situs MarketWatch menulis pada Februari 2010 dengan judul “How to invest for a global-debt-bomb explosion; Prepare for an apocalyptic anarchy ending Wall Street's toxic capitalism”(Bagaimana berinvestasi dalam ledakan bom utang global; Bersiaplah untuk anarki apokaliptik yang mengakhiri kapitalisme beracun Wall Street)?


“Amerika tengah menapaki jalan menuju anarki ekonomi. Kita semua terperangkap dalam suatu siklus besar sejarah, suatu titik balik yang harus melewati suatu anarki penghancuran diri sendiri dari negeri tak bertuan dan tanpa hukum sebelum suatu dunia neo-kapitalisme muncul dari reruntuhannya…


Ini bukan gurauan, bung. Anda sudah siap? Atau sedang bersiap-siap? Apakah keluarga anda akan selamat dalam dunia pasca apokaliptik, ketika anarki merajalela di Amerika? Lihatlah Washington, Wall Street dan Korporasi-korporasi Amerika hari ini. Anda tahu ini sudah dimulai.


Anda tengah menyaksikan suatu kerusakan yang mendasar pada mimpi Amerika, suatu kerusakan sistemik dari demokrasi dan kapitalisme kita, suatu kerusakan yang didorong oleh ketamakan yang tak pernah terpuaskan dan buta dari Wall Street: Pemerintah yang tak berfungsi, pasar yang tak waras, ekonomi di tepi jurang. Kalikan semua itu berulang-ulang dan lihatlah sebuah dunia yang kacau-balau. Jika mengabaikan hal itu sekarang, besok akan sangat terlambat…


Bagaimana dua kelas masyarakat Amerika bersiap-siap untuk suatu kemerosotan menuju anarki


Sementara Amerika meluncur menuju anarki, keselamatan keluarga anda dan kesanggupan anda untuk pensiun akan tergantung pada di kelas mana anda berada dari total kira-kira 300 juta penduduk:


1. Orang Amerika kebanyakan: Anda adalah satu dari 299 juta orang Amerika kebanyakan. Pendapatan rata-rata pertahun $50.000, hanya 10% dari jumlah bonus yang dibayarkan kepada para bankir korup Wall Street. Atau anda sudah menjadi salah satu dari 20% orang Amerika yang tidak bekerja penuh…mungkin mengandalkan kupon makanan…mungkin di antara 47 juta orang yang hidup tanpa asuransi kesehatan…nilai asset ketika pensiun kira-kira $50.000, hanya cukup untuk hidup selama setahun. Dan anda menyesal sekali karena anda tidak bekerja di dalam kelompok the “Happy Conspiracy” (orang-orang super kaya).


2. Kelompok Super Kaya (Happy Conspiracy): Anda adalah salah seorang milyuner yang beruntung di dalam kelompok super kaya. Mungkin anda bekerja untuk sebuah Bank Korup di mana pembayar pajak Amerika menalangi utang mereka tahun lalu sehingga anda mengantungi bonus 2009 antara $600.000 dan $10 juta. Mungkin anda seorang Eksekutif Kepala pada sebuah Korporasi Amerika. Mungkin anda seorang yang termasuk dalam daftar 400 orang terkaya versi majalah Forbes. Mungkin anda seorang Senator Amerika.


Inilah bagaimana orang-orang super kaya mempersipkan diri: Pada bukunya yang menjadi best seller pada 2008, ‘Wealth, War and Wisdom,’ hedge fund manager Barton Biggs, seorang yang sangat dihormati di dalam lingkungan orang-orang ‘super kaya,’ memberikan nasihat kepada kelompok super kaya tersebut akan ‘kemungkinan timbulnya kerusakan yang tiba-tiba pada infrastruktur peradaban.’


Sarannya: kumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Belilah suatu perkebunan di pegunungan. Lindungi keluarga dari para penjahat: ‘Surga penyelamatan anda harus bisa mencukupi kebutuhan sendiri dan sanggup unyuk menumbuhkan beberapa jenis makanan…Harus tersedia juga bibit-bibit tanaman, pupuk, makanan kaleng, anggur, obat-obatan, pakaian, dan sebagainya…’


Apa alternatif kita? Suatu Revolusi Amerika baru


Tetapi tunggu, tunggu, saya mendengar anda bertanya keras-keras: Tentu harus ada alternatif terhadap kemerosotan yang kelam menuju anarki ini, atas hilangnya segala hal yang telah membuat Amerika menjadi negara paling hebat di dunia? Ya ada satu alternatif. Setelah mengendapnya debu anarki, harus muncul Revolusi Amerika Kedua. Tetapi sayangnya tidak akan terjadi apa pun hingga suatu krisis besar membangunkan Ameriika… mengejutkan bawah sadar orang-orang Amerika….kita ‘sedang tidur nyenyak’…hanya kejutan yang bersifat seismik, sistemik yang akan memicu revolusi yang diperlukan tersebut..”


Lalu belum lama ini Dr. Marc Faber, seorang analis ekonomi-keuangan yang berbasis di Singapura, kembali mengutarakan hal yang sama (CNBC, 30 Juli 2010, “Marc Faber Questions if Dow Could Hit 1,000”)


Pada dasarnya pendapat Marc Faber dikutip sehubungan dengan prediksi Robert Prechter, bahwa waktu bagi indeks bursa saham Wall Street (Dow index) untuk meluncur hingga di bawah 1000 semakin dekat. Ia sama sekali tidak mengesampingkan pendapat tersebut. Ia bahkan memperingatkan implikasi bagi terjadinya peristiwa tersebut. “Saya ingin para pembaca saya untuk berpikir dengan sangat berhati-hati mengenai implikasi Dow di bawah 1000 (bahkan juga jika di bawah 5000). Apakah ada yang benar-benar berpikir bahwa mesin cetak uang (bank sentral Amerika) tidak akan bekerja 24 jam sehari? Saya yakin tidak ada yang berpikir demikian (mesin cetak uang The Fed tentu akan bekerja 24 jam sehari, yang akan mengakibatkan hiperinflasi).”


Ketika masa itu tiba, saran Faber adalah: “beli perkebunan yang bisa menghidupi diri sendiri di suatu tempat yang terpencil dikelilingi pagar listrik bertegangan tinggi lengkap dengan jebakan serta seperangkat senapan mesin, granat tangan, juga kendaraan militer dipandu anjing Doberman.”


Barangkali orang akan mengatakan bahwa kedua pendapat di atas sangat berlebihan. Akan tetapi, bukankah pernyataan-pernyataan mereka itu selaras dengan hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berikut ini, khususnya jika musibah itu terjadi di negeri-negeri Muslim?


“Tak lama lagi harta terbaik seorang Muslim adalah kambing yang ia bawa ke puncak gunung dan tempat yang jauh sehingga ia dapat lari menyelamatkan agamanya dari fitnah-fitnah.” (HR. Bukhari, dari Abu Said al-Khudri)


Sementara itu, negeri ini, Indonesia, adalah di antara perwujudan yang paling nyata dari hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berikut ini (artinya),


“Kelak kalian akan mengikuti ajaran orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk ke dalam liang biawak pun kalian pasti akan mengikuti mereka.’ Kami, para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah yang kami ikuti itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani?’ Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’” (HR. Muslim, dari Abu Said Al Khudri)


Indonesia, dimotori kaum sekularnya, adalah negeri Muslim yang paling fanatik dan setia dalam mengkuti resep-resep Amerika. Maka ketika Amerika runtuh seraya menyeret sistem moneter dunia runtuh bersamanya, Indonesia berpotensi mengikuti pola kehancuran Amerika. Pemerintah akan kehilangan sumber dana untuk mencari utang di saat kebangkrutan di sektor swasta mewabah. Tidak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali memangkas habis-habisan anggarannya, itu pun jika pemerintah masih sanggup untuk berdiri. Ketika sudah menyentuh pemotongan anggaran keamanan dan keselamatan masyarakat, maka normalitas kehidupan masyarakat menjadi taruhannya. Kelompok-kelompok ekstrim akan kembali muncul untuk mengail di air keruh. Di balik slogan-slogan kosongnya itu (Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyebutnya sebagai penipuan!), mereka melakukan balas dendam secara membabi-buta, menumpahkan banyak darah kaum Muslimin,


“Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, dunia ini tidak akan binasa kecuali setelah manusia mengalami suatu masa di mana pelaku pembunuhan tidak mengerti apa sebabnya ia membunuh dan orang yang terbunuh juga tidak mengerti apa sebabnya ia dibunuh.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah)


“Akan muncul kelompok yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati tenggorokan mereka. Manakala kelompok tersebut muncul, maka berhak untuk dipotong.”

Ibnu Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam bersabda, ‘Manakala muncul kelompok itu, maka berhak untuk dipotong ‘(lebih dari dua puluh kali), sehingga muncullah Dajjal di tengah-tengah penipuan mereka.” (HR. Ibnu Majjah dari Ibnu Umar)


Maka lakukanlah persiapan! Rasanya masa itu, yaitu masa menjelang munculnya Dajjal, tak akan lama lagi.


Wallahua’lam.

Jumat, 13 Agustus 2010

Retakan itu bermula dari Belgia...


Setelah Perang Dunia II usai, di benua Eropa terbentuk negara-negara yang dipersatukan oleh tekanan politik yang selaras dengan zamannya ketika itu. Di Eropa Timur terbentuk sebuah imperium Komunis dengan tiang pancangnya Uni Soviet, dikelilingi sejumah satelitnya seperti Yugoslavia, Cekoslowakia, Hongaria, Rumania, Bulgaria, Jerman Timur, dan lainnya. Sedangkan di Eropa Barat terbentuk blok Barat yang terdiri dari negara-negara Kapitalis yang dipimpin oleh negara pemenang perang semacam Inggris dan Perancis.

Dengan berjalannya waktu, ketika ideologi Sosialisme-Komunisme terbukti merupakan ideologi yang gagal, lalu runtuh, maka runtuh pula imperium yang mewadahinya, dan tercerai berai pula negara-negara satelitnya. Uni Soviet bubar menjadi banyak negara baik yang berada di Eropa maupun di Asia. Lalu Yugoslavia turut bubar ketika bapak pendirinya, Yosef Tito, meninggal dunia. Terakhir suku-suku bangsa Ceko dan Slovakia memutuskan untuk berpisah, sekaligus mengubur sejarah negara Cekoslowakia. Setelah proses bubarnya negara-negara Komunis, Eropa terlihat tenang dan stabil, tersusun dari kurang lebih 40 negara dengan satu agama yang sama, yaitu Kapitalisme.

Setelah kegagalan Komunisme yang berlanjut dengan bubarnya negara-negara komunis, pertanyaan intuitif yang patut diajukan adalah: apakah gagalnya Kapitalisme dimasa depan yang dekat, insya Allah, akan memberikan konsekuensi yang sama, yaitu bubarnya negara-negara Kapitalis? Marilah kita analisis.

Pada kenyataannya, sejumlah negara-negara Kapitalis yang berdiri di Eropa saat ini tidak terbentuk secara alamiah, tidak berdiri di atas etnis, bahasa, dan kesejarahan yang sama. Perhatikanlah kutipan berikut ini (Global Paradox, 1994, hal. 1-2), “Freddie Heineken, seorang raja bir Belanda, telah menimbulkan kegemparan ketika ia mengusulkan dibentuknya sebuah aliansi Eropa yang terdiri dari 75 negara, dengan masing-masing negara berpenduduk antara lima hingga 10 juta jiwa sesuai dengan latar belakang etnis dan bahasanya.

Islandia, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Denmark akan tetap dalam bentuk yang sama. Skotlandia dan Wales akan menjadi negara merdeka. Di Spanyol, wilayah Catalonia dan Basque akan menjadi merdeka. Paris dan wilayah sekitarnya akan menjadi Ile-de-France, dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa. Swis dan Italia akan dipecah menjadi sembilan negara yang berbeda. Dan seterusnya.”

Heineken tentu tidak sembarangan berbicara. Ia memahami sejarah terbentuknya negara-negara Eropa; ia mengetahui hal yang paling alamiah, yang paling dapat memberikan kestabilan bagi benua tersebut. Kini, satu-satunya kesamaan dari setiap negara Kapitalis di Eropa adalah pada pengejaran tujuan yang sama (common denominator), yaitu peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran. Maka ketika sasaran ini terlihat semakin melemah untuk diraih, khususnya akibat krisis global 2008 yang lalu, keinginan untuk kembali kepada akar masa lampaunya pun kembali mengemuka.

Situasi ini dapat kita lihat tengah terjadi di Belgia. Bagi para politisi Belgia, sejumlah perbedaan yang mendalam hanya dapat diatasi dengan melakukan pembangunan ekonomi (economic expansion). Ketika terdapat ganjalan yang keras dalam membangun ekonominya, salah satu suku-bangsa yang membentuk negara Belgia berkeras untuk membebaskan dirinya dari ikatan itu, yang agaknya akan menjadi preseden bagi perpecahan lebih lanjut di negara-negara Eropa lainnya, seakan-akan mewujudkan harapan Heinekan. Marilah kita teropong Belgia.


Kerajaan Belgia terdiri dari tiga kelompok penduduk yang berbeda dalam bahasa, budaya, dan tradisinya masing-masing: Di sebelah Utara, di wilayah Flanders, yang berbatasan dengan Belanda berdiam suku-bangsa Fleming yang berbahasa Belanda, di sebelah Selatan yang berbatasan dengan Perancis, di wilayah Wallonia, menetap suku-bangsa Wallon yang berbahasa Perancis. Selain itu terdapat sekelompok kecil penduduk yang berbahasa Jerman tinggal di belahan Timur. Negara ini memiliki ibu kota Brussel di mana kedua bahasa, Belanda dan Perancis, secara aktif dipergunakan.

Belgia sendiri dibentuk pada 1831 oleh kekuatan-kekuatan internasional sebagai kompromi politik sekaligus sebagai percobaan dalam upaya membentuk sebuah negara dari dua suku-bangsa yang berbeda. Negara “buatan” ini berpenduduk 10,7 juta jiwa. Dari jumlah itu, sekitar 6 juta merupakan penduduk Flanders, 3 Juta adalah warga Wallonia, dan 1 juta tinggal di ibu kota Brussel di mana terdapat kantor pusat organisasi-organisasi besar Eropa semacam Uni Eropa, NATO, EUROATOM, dan lain-lain.

Walaupun mayoritas penduduknya berbahasa Belanda (yang diwakili oleh suku-bangsa Fleming), sepanjang sejarahnya Belgia justru lebih didominasi oleh kelompok mapan yang berbahasa Perancis (dari suku-bangsa Wallon). Ketika pada awal abad ke-20 negara tersebut menjadi lebih demokratis, kelompok mapan yang berbahasa Perancis ini khawatir bahwa kelompok mayoritas Fleming yang berbahasa Belanda akan menguasai negara. Maka Belgia pun dibuat menjadi negara federal dengan memberikan Wallonia hak veto yang dijamin secara konstitusional atas semua keputusan penting, serta jaminan hak atas setengah dari kursi di pemerintahan dan lembaga-lembaga penting lainnya. Sementara itu suku-bangsa Fleming yang konservatif serta berorientasi pasar-bebas telah mengeluhkan selama puluhan tahun bahwa mereka dipaksa untuk menyokong biaya hidup suku-bangsa Wallon yang cenderung Sosialis.

Data-data menunjukkan bahwa, walaupun suku-bangsa Wallon merupakan minoritas, yaitu 33% dari penduduk Belgia, jumlah penganggurnya justru lebih banyak, 46% dari jumlah penganggur di negara itu. Wallonia juga hanya menyumbangkan 24% bagi PDB Belgia serta 13% dari ekspor negara itu. Tingkat pengangguran di Wallonia sangat tinggi, 20%. Sedangkan 40% dari kelompok pekerjanya, bekerja sebagai pegawai negeri.

Barangkali ketimpangan ini tidak terlalu menjadi masalah ketika situasi ekonomi masih normal. Tetapi kemapanan ini telah terguncang dengan hebat, khususnya setelah dihantam badai krisis global 2008, yang membuat utang Belgia melonjak menjadi €400 milyar. Situasi ini mewajibkan Belgia untuk mengurangi subsidi kepada warganya. Akan tetapi, setiap usaha untuk meliberalkan ekonomi Belgia dan mereformasi (baca: mengurangi subsidi) sistem jaminan kesejahteraan warganya selalu ditolak oleh suku-bangsa Wallon. Orang-orang Fleming pun merasa telah diperas oleh orang-orang Wallon dengan jumlah yang meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini membuat mereka frustrasi, dan menumbuhan gerakan untuk memisahkan diri, yang kini telah mencapai tahap kritis.

Persoalannya adalah, jika Belgia pecah, dan diprediksi terjadi sebelum 2012, wallahua’lam, siapakah yang akan menanggung utang negara itu yang besarnya €400 milyar? Tentu saja dua suku-bangsa yang bertikai itu akan lebih sibuk memperebutkan asset Belgia ketimbang utangnya. Jika mereka pecah, utang itu akan terlantar, dan otomatis terjadi default. Jadi, sekonyong-konyong segenap negara-negara Eropa dipusingkan oleh kemungkinan default-nya Belgia. Jadilah Belgia sebagai “Yunani di Utara!” Kini kita melihat benua Eropa telah dikelilingi oleh ladang-ladang ranjau “utang pemerintah” yang berpotensi default. Peran Belgia secara de facto sebagai ibu kota federal Uni Eropa, membuat keruntuhannya akan memberikan konsekuensi dan implikasi yang tidak kecil terhadap Eropa dan dunia pada umumnya!

Perpecahan adalah sifat alamiah dari bangsa Eropa atau bangsa Barat pada umumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (artinya),

“Mereka tiada akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” (QS. Al-Hasyr: 14)

Tak lama lagi, insya Allah, kita akan melihat bergulirnya bola default yang diikuti dengan perpecahan di antara negara-negara di Eropa, sekaligus mewujudkan harapan Pak Heineken, yaitu pecahnya Eropa menjadi sekitar 75 negara.

Lalu, guna mengatasi kehancuran sosial-ekonomi-politiknya, bangsa Eropa akan kembali menerapkan resep usang yang berasal dari zaman Perang Salib. Mereka akan mengalihkan perhatian rakyatnya dari kehancuran tatanan kehidupannya ke medan perang.

Renungkanlah hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berikut ini (artinya),

“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya), ‘Hitunglah enam hal menjelang terjadinya Kiamat...” (lantas beliau menyebutkan di antaranya): ‘Kemudian perdamaian antara kalian dengan Bani Ashfar (Romawi), lantas mereka mengkhianati kalian, mereka menyerang kalian di bawah delapan puluh bendera, setiap bendera membawahi dua belas ribu tentara.’” (HR. Bukhari dari Malik bin ‘Auf al-Asyja’i)

Hmm… agaknya negara-negara Eropa akan pecah menjadi 80 negara, bukan 75 negara. Atau, barangkali 75 negara akan berasal dari Benua Eropa, sedangkan lima negara sisanya akan berasal dari bangsa Barat dari benua lainnya.

Wallahua’lam

Jumat, 06 Agustus 2010

Ronde 2: Yunani...

Latar Belakang


Pada periode 2000 hingga 2007, Yunani yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa merupakan salah satu negara di zona euro dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi, di atas 4% per tahun. Guna meraup devisanya, negeri ini mengandalkan pada industri pariwisata dan perkapalan. Sementara itu selama bertahun-tahun pemerintah Yunani cenderung menerapkan model ekonomi dengan defisit anggaran yang besar, guna menyokong sektor publiknya, seperti menciptakan lapangan kerja serta menyediakan berbagai jenis tunjangan sosial.


Ketika terjadi krisis keuangan global pada kuartal terakhir 2008, sebagaimana terjadi pada banyak negara di dunia, perekonomian Yunani juga terkena dampaknya. Sebagaimana terjadi pada negara-negara kapitalis lainnya, agar sistem kapitalis tetap tegak, pemerintah menarik tambahan utang baru yang besar. Di sisi lain, dua sektor yang paling diandalkan untuk meraup devisa itu justru terkena pukulan hebat, mengalami penurunan pendapatan yang tajam. Secara serta merta pemerintah Yunani terjerumus ke dalam situasi keuangan yang akut; utang yang menggunung dibarengi dengan pendapatan yanag menurun drastis . Maka sejak 2009 bertiup kencang isu, bahwa Yunani terancam mengalami default (gagal memenuhi komitmennya kepada para kreditur).


Potensi Penyebaran Krisis di Eropa


Yunani adalah satu dari 16 negara yang tergabung di dalam Masyarakat Ekonomi Eropa dengan satu mata uang tunggal, yaitu euro (€). Betapa banyak pengamat yang mengkhawatirkan, bahwa jika Yunani mengalami default, dampaknya akan sangat terasa bukan saja di zona euro, melainkan di seluruh dunia. Utang pemerintah Yunani yang perlu diselesaikan (outstanding debt) mendekati €300 milyar. Default-nya Yunani, menurut Oxford Economics, akan merupakan kejadian default suatu pemerintahan yang terbesar sejak 1930; default-nya Yunani akan setara dengan runtuhnya bank investasi Lehman Brorthers pada kuartal terakhir 2008 yang lalu.


Bagaimana penjelasannya? Jika Yunani mengalami default, maka investor asing akan segera keluar dari Yunani dalam waktu sekejap, karena menganggap Yunani tidak lagi mempunyai prospek yang baik bagi investasi. Dalam keadaan tak punya uang, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah Yunani kecuali mengurangi dan memotongi gaji pegawai negeri, menghentikan berbagai tunjangan sosial, serta menghentikan proyek-proyek pemerintah. Kebangkrutan dengan segera menjalar ke sektor swasta. Pengangguran pun dengan cepat merebak. Orang-orang antri di ATM untuk menarik uang, tapi tak ada uang yang tersisa. Mereka akan sangat marah, rasa frustrasi dengan cepat meledak menjadi anarki.


Pengangguran tidak saja akan menimpa warga Yunani, melainkan juga para pekerja tamu dari Bulgaria, Albania, dan Macedonia di Yunani. Ketiga negara itu akan kehilangan devisa dari hasil pengiriman gaji tenaga kerjanya di Yunani sekaligus harus bersiap-siap menerima tambahan jumlah penganggur dari tenaga kerja yang kembali dari Yunani.


Karena perbankan Yunani juga bermain di luar negaranya, kesulitan yang dihadapi perbankan Yunani juga akan ikut menjalar ke wilayah operasi perbankan Yunani tersebut. Sebagai contoh, menurut firma Morgan Stanley, perbankan Yunani banyak memberikan pinjaman berskala besar kepada perusahaan-perusahaan di Bulgaria dan Rumania. Jika perbankan Yunani mengalami kesulitan di tanah airnya, secara otomatis ia akan menarik kembali uangnya yang mengalir ke negara-negara lain. Maka akan banyak perusahaan-perusahaan di Bulgaria dan Rumania mengalami kebangkrutan.


Kemudian, sebagaimana dilansir Citigroup, terdapat perbankan manca negara yang secara langsung terekspos oleh krisis Yunani, karena memegang surat utang pemerintah Yunani, yaitu:

Perbankan Perancis mewakili lebih dari 25% klaim

Perbankan Swiss mewakili lebih dari 20% klaim

Perbankan Jerman mewakili hampir 15% dari klaim

Perbankan Amerika mewakili sedikit di atas 5% dari klaim

Perbankan Inggris mewakili kira-kira 3% dari klaim


Menurut Oxford Economics, perbankan Eropa akan menghadapi kerugian hingga €100 milyar. Padahal bank-bank itu sendiri saat ini masih bergelantungan di pundak pemerintahnya masing-masing akibat dampak krisis global 2008 yang lalu. Default-nya Yunani akan membuat sejumlah bank di Eropa serasa dicincang berkali-kali, yang berdampak pada kelangkaan kredit bagi dunia usaha di negerinya. Kebangkrutan pun menjalar ke negara asal perbankan tersebut. Lalu pemerintahnya yang sudah kepayahan menalangi utang perbankannya, harus sekali lagi terkena getahnya menalangi kerugian bank-bank tersebut.


Selain perbankan, terdapat perusahaan-perusahaan asuransi raksasa yang juga akan terkena dampak langsung jika pemerintah Yunani default. Pada kasus perusahaan asuransi Fortis, misalnya, masih menurut menurut firma Morgan Stanley, diketahui bahwa perusahaan asuransi tersebut juga terekspos di Portugis dan Italia. Maka bangkrutnya Fortis akan menjalar sekurang-kurangnya ke kedua negara tersebut; perusahaan-perusahaan akan mengalami kerugian karena klaim-klaim asuransi tidak dapat dicairkan. Tentu masih ada perusahaan-perusahaan asuransi lainnya dengan resiko yang sama. Selanjutnya kebangkrutan di sektor swasta ini akan semakin meningkatkan potensi default pada pemerintahan di kedua negara itu, akibat basis pengenaan pajak bagi pemerintah semakin menciut sementara tunjangan pengangguran semakin bertambah.


Jika Yunani mengalami default, otomatis bursa sahamnya ambruk karena ditinggal para investor yang bekerja dengan instink “kawanan.” Satu bergerak, yang lain akan mengikuti. Runtuhnya bursa saham Yunani akan diikuti dengan runtuhnya bursa saham di seluruh Eropa dan bahkan dunia, karena para investor segera mencium suramnya prospek perekonomian di daratan Eropa. Tanpa para investor ini perkonomian menjadi stagnan, pengangguran bertambah, dan taruhan terakhirnya adalah terancamnya stabilitas sosial-politik.


Pada level pemerintahan, default-nya Yunani akan memancing sifat paranoid para investor atas surat-surat utang pemerintah di negara-negara Eropa lainnya. Mereka dapat secara serta merta berupaya melepaskan dirinya dari surat-surat utang khususnya dari negara-negara Eropa yang termasuk di dalam kawasan “financial ring of fire,” yaitu negara-negara yang juga berpotensi mengalami default semacam Spanyol, Portugis, Italia, dan Irlandia. Secara serta merta potensi default semakin meningkat di negara-negara tersebut.


Dalam situasi apa pun, negara-negara di Eropa itu tetap membutuhkan dana yang tidak ada jalan lain harus didapatkan dengan menjual surat utang. Maka guna mengompensasikan melemahnya gairah para investor untuk membeli surat-surat utang, pemerintahan di negara-negara Eropa itu terpaksa memancing para investor dengan menawarkan imbalan (baca: bunga) yang tinggi bagi surat utangnya, suatu tambahan atas beban utang pokok yang tidak kecil. Dalam skenario yang paling buruk, default-nya pemerintah Yunani akan mengancam keberlangsungan zona euro itu sendiri.


Kini kita telah melihat resiko bergulirnya kartu-kartu domino kehancuran akibat default-nya pemerintah Yunani ke negara-negara lainnya di Eropa. Jika sudah menyangkut sistem perbankan, pemerintahan di negara-negara Eropa itu akan menghadapi dilema. Jika perbankan mereka tidak diselamatkan, taruhannya adalah tumbangnya sistem ekonomi kapitalis. Sedangkan jika diselamatkan, pada akhirnya negara itu sendiri yang akan menjadi korban, berpotensi bubar karena tak kuasa menanggung tambahan utang ketika beban utang yang mereka pikul saat ini telah sedemikian berat, dan pada saat yang sama mereka pun terancam default.


Potensi Dampak Krisis Yunani di Dunia Selain Eropa


Jika Yunani mengalami default, para investor akan bereaksi secara instinktif, yaitu menyelamatkan diri dengan menyerbu surat utang pemerintah Amerika. Hal ini secara relatif akan melemahkan nilai mata uang euro terhadap dolar Amerika; secara relatif dolar akan menguat terhadap euro. Menguatnya dolar akan melemahkan daya saing produk eskpor Amerika ke Eropa, yang tak lain adalah partner dagangnya yang terpenting. Amerika tidak dapat berharap banyak memperoleh devisa dari ekspor mereka ke Eropa. Selanjutnya hal ini akan memastikan Amerika akan tetap tenggelam dalam kubangan krisis. Jika Amerika tetap dalam krisis, maka dunia juga akan tetap dalam krisis, karena Amerika adalah pelahap produk dunia yang paling rakus. Jika pelahap itu tidur, maka tidur pula seluruh dunia. Hal yang sama juga menimpa negara pengekspor utama seperti Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Mereka akan kesulitan menjual barangnya ketika pasar Eropa sangat melemah.


Bagi Indonesia, jika Yunani mengalami default, dampaknya akan segera terlihat dengan melemahnya permintaan barang ekspor untuk tujuan Eropa dan menurunnya kunjungan wisatawan dari Eropa, serta membanjirnya barang-barang eks Cina. Jika pasar Eropa tidak efektif, maka Cina akan mengalihkan tujuan ekspornya ke negara-negara lunak semacam Indonesia; barang masuk dengan harga dibanting dan tidak ada yang ribut! Juga, sebagaimana bursa saham lainnya di dunia, bursa efek Jakarta akan rontok karena investor asing akan keluar membawa uangnya kembali pulang. Lalu investor lokal pun ikut-ikutan menarik uangnya. Tiba-tiba perusahaan-perusahaan yang mempertaruhkan keberlangsungan hidupnya dari bursa saham akan terlihat berkelojotan, meregang nyawa! Bukankah ini hanya permainan yang bersifat spekulatif?


Melihat hebatnya resiko kehancuran Eropa jika Yunani mengalami default, maka tak heran jika akhirnya pada 2 Mei 2010 negara-negara zona euro dan IMF sepakat memberi pinjaman €110 milyar dengan bunga 5% kepada Yunani dengan persyaratan yang sangat ketat (ingat Indonesia 1998?). Seminggu kemudian, pada 9 Mei 2010, segenap Menteri Keuangan Eropa menyepakati paket penyelamatan komprehensif senilai €1 trilyun yang ditujukan bagi pemantapan stabilitas keuangan di seluruh Eropa.


Sebagai tindak lanjut dari pinjaman itu, pemerintah Yunani berkewajiban melakukan program pengetatan ikat pinggang, termasuk di antaranya:

· Membatasi bonus untuk pegawai di sektor publik hingga €1000 per dua tahun, dan melarang sepenuhnya pemberian bonus bagi pendapatan di atas €3000 per bulan.

· Memotong tunjungan pegawai sektor publik sebesar 8% dan BUMN 3%.

· Membatasi gaji ke 13 dan 14 sebesar €800 per bulan bagi para pensiunan, dan menghapus sama sekali tambahan tersebut untuk pensiunan di atas €2500 per bulan.

· Menerapkan kembali pajak khusus untuk pensiunan yang berpendapatan tinggi.

· Mengubah peraturan untuk PHK dan pembayaran uang lembur.

· Mengenakan pajak tambahan yang dibebankan kepada keuntunan perusahaan.

· Meningkatkan pajak pertambahan nilai hingga 23%, 11% dan 5,5%.

· Meningkatkan pajak sebesar 10% untuk barang-barang seperti alkohol, rokok, dan BBM.

· Menyetarakan batas usia pensiun untuk pria dan wanita.

· Menyusun suatu mekanisme baru penentuan usia pensiun berdasarkan perubahan harapan hidup.

· Membentuk dana stabilitas keuangan.

· Menaikkan usia pensiun rata-rata untuk pekerja sektor publik dari 61 ke 65.

· Mengurangi jumlah BUMN dan jawatan lainnya dari 6000 menjadi 2000.


Menanggapi rencana pemerintah di atas, pada 5 Mei 2010 berlangsung mogok massal berskala nasional. Aksi itu membawa korban tiga orang meninggal dunia, puluhah luka-luka dan lebih dari seratus orang ditangkap. Pada dasarnya demo-demo dan pemogokan telah berlangsung jauh sebelum itu, dan keadaannya semakin menjadi anarkis dari waktu ke waktu.


Pada Juli 2010 Yunani memasuki babak baru dalam pergolakan sosial-politiknya, yaitu dengan bermunculannya kelompok-kelompok anarkis yang lebih berbahaya dan kejam; mereka tidak mempunyai keraguan untuk membunuh! Lalu orang-orang teringat pada situasi di Italia di awal 1970-an ketika aksi-aksi organisasi teroris semacam Brigade Merah menghiasi halaman surat-surat kabar. Tidak diragukan bahwa krisis yang telah melahirkan tingkat pengangguran yang begitu tinggi dan rasa frustrasi yang berkepanjangan, telah memainkan peranan dalam peningkatan tindak kekerasan masyarakat.


Tersisa satu pertanyaan: setelah mendapatkan utang dari IMF senilai €110 milyar, apakah Yunani akan berhasil mengejar target-target kuantitatifnya sembari menerapkan program pengetatan ikat pinggang dan, yang terpenting, terhindar dari default? Bagi negara yang mempunyai basis industri manufakturing, peningkatan produktivitasnya dapat diharapkan akan meningkatkan ekspor dan perolehan devisa. Akan tetapi Yunani adalah negara spesialis pariwisata! Siapa pula yang akan datang ke Yunani untuk berwisata di tengah masyarakatnya yang bergejolak dan semakin beringas? Selain itu, karena Yunani memegang satu mata uang euro, ia tidak bisa mendevaluasi mata uangnya untuk meningkatkan ekspor. Maka tak perlu heran jika kebanyakan pengamat berpendapat bahwa utang baru itu hanya sekedar menunda default, padahal default itu cepat atau lambat akan terjadi juga. Ketika itu terjadi, ia akan menjadi “Ronde 2” dari proses penghancuran Kapitalisme.


Sekarang kita telah mendapatkan gambaran lengkap resiko kehancuran ekonomi dunia oleh default-nya Yunani, negeri dengan penduduk 10 juta jiwa. Jadi, apa yang dapat dikatakan jika default menimpa Amerika? Barangkali itu akan menjadi “Ronde 3,” ronde terakhir, insya Allah.


Kehancuran Kapitalisme, sistem ekonomi berbasis riba dan perjudian, adalah suatu kepastian, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (artinya),


“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah: 276)


“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS. Al-Baqarah: 279)


dan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun telah bersabda (artinya),


“Riba itu walaupun banyak, maka sesungguhnya akibatnya adalah menjadi sedikit.” (HR. Hakim dan Ibnu Majjah dari Ibnu Mas’ud)


Hal yang perlu direnungkan: dengan utang ribawiyah sebesar Rp. 1600 trilyun, apakah NKRI akan dikecualikan dari kebinasaan?

Wallahua’lam